Misunderstand

63 12 11
                                    


Di dalam cermin, sosok itu selalu terpantul. Sosok orang yang paling kubenci di dunia ini. Kenapa tidak enyah saja?

Begitulah yang tertulis pada secarik kertas yang kutemukan bersama dengan sebuah buku bergambar dreamcatcher putih dengan latar biru tua pada sampulnya. Buku itu kutemukan Selasa minggu lalu di lab bahasa saat hendak keluar. Saat itu aku berpikir untuk langsung memberikannya ke ruang wakasek agar lebih mudah ditemukan oleh pemiliknya. Namun, kertas jatuh dengan tulisan bertinta merah itu muncul dan mengurungkan niatku sebelumnya.

Kalau ditanya alasannya, aku tak bisa menjelaskan secara rinci. Ini juga bukan berarti aku peduli pada pemilik buku hilang itu-apalagi tulisannya. Hanya saja, tidak lucu mengabaikan hal seperti itu. Terlebih pertanyaan yang ia tuliskan di akhir itu ... membuat pikiranku menyebar seenaknya. Hahaha, sialan.

Karena itu, aku memutuskan langsung untuk menemui pemiliknya meski tak tahu dia siapa. Bagaimana aku bisa? Tentu saja dengan membuang waktuku untuk pergi ke seluruh jadwal yang menggunakan lab bahasa dalam satu minggu ini. Kalau dibilang bodoh, jelas iya mengingat aku baru sadar kalau menempelkan pengumuman di pintu lab bahasa dan mengajaknya bertemu di suatu waktu akan lebih mudah. Tapi, satu minggu sudah hampir lewat dan aku baru sadar.

Sekarang, sudah Senin dan yang mengisi lab bahasa hari ini adalah kelas 12 IPA 3, tepat di jam pelajaran terakhir. Seusai kelas bubar tadi, aku langsung berlari ke lab bahasa mengingat cukup jauh dari kelasku-10 MIA 2. Sambil menunggu para kakak kelas itu keluar, aku duduk di deretan bangku sebelah lab bahasa, berpura-pura memanfaatkan Wi-Fi yang disediakan oleh sekolah.

Sampai akhirnya pintu lab bahasa terbuka disusul dengan Pak Wan yang langsung pergi ke ruang guru. Tak lama, para kakak kelas itu mulai keluar satu per satu. Sekitar 10 menit dan tampaknya sudah bubar semua, tapi sepasang sepatu yang masih bertengger di rak membuatku bangun dari tempat dudukku. Lantas berjalan menuju lab yang pintunya masih terbuka. Aku yakin, dia yang masih di dalam adalah pemiliknya.

Begitu sampai, aku langsung mengintip dari pintu. Tak langsung menangkap sosok apapun namun hanya sesaat sebelum kemudian sosok laki-laki dengan jaket berwarna biru tua muncul dari bawah meja. Cukup untuk membuatku membelalakan mata. Aku mengenalnya. Dia ...

"Kak Fajar?" Tanpa sadar aku menyebut namanya. Sementara sosok yang merasa terpanggil itu langsung menunjukkan senyumannya.

"Ngapain di sini, Ca?" tanyanya sambil berjalan ke arahku. Tak butuh waktu lama baginya untuk sampai ke hadapanku. Jelas, dia tinggi sekali.

Dia ... benar-benar Fajar Muhammad Ridwan. Kakaknya Erena, salah satu teman sekelasku sekaligus teman masa kecilku saat masih tinggal di komplek tempat kerja Papa. Meski saat itu aku tidak terlalu akrab dengan kakaknya, tapi aku masih mengingat sosoknya. Tak kusangka bisa bicara lagi seperti ini. Tapi tunggu-

"Ca, kok ngelamun?"

Buru-buru aku mengerjapkan mata begitu menyadari pikiranku mulai melayang ke mana-mana. Cacaaaa, ini masih siang bolong, loh! Percuma, ini kebiasaanku sejak lama kalau sudah mengingat sesuatu terlebih ...

"Duh, sori, Kak! Kak Fajar sendiri ngapain di sini?" Aku malah berbalik bertanya. Sedetik kemudian, aku baru ingat tujuanku. "Ah iya, jangan bilang kakak yang punya buku-"

"Buku sampul biru tua gambar dreamcatcher?" potongnya buru-buru.

"Iya itu!" pekikku tanpa sadar. Buru-buru aku mengeluarkan benda itu dari dalam tasku. Syukurlah kalau aku bisa menemukan pemiliknya langsung tanpa-sekarang aku malah teringat dengan tulisan di selembar kertas itu.

Kalau Kak Fajar yang nulis itu, artinya dia ...

Aku benar-benar bingung sekarang. Bagaimana mungkin orang seperti dia ... berpikir hal semacam itu, kan? Entah kenapa, aku jadi khawatir. Bagaimana reaksi Erena kalau tahu kakaknya berpikiran seperti itu. Aaaaaah, sekarang pikiran liarku mulai lagi, ini buruk! Harus dihentikan! Hanya saja ....

"Kak, Caca boleh nanya sesuatu?" Pada akhirnya aku melontarkan hal itu. Tanpa sadar, sesuatu dalam dadaku mulai bergemuruh. Aku takut.

"Tanya aja, kamu kayak ke siapa aja, sih, hahahaha." Jawaban yang keluar bersama dengan kekehan itu entah kenapa tredengar menyakitkan saat pikiranku mulai membandingkannya dengan tulisan itu. Jangan-jangan, ia berniat menyembunyikannya agar tidak ada yang khawatir? Bisa saja, kan?

"Anu ... maaf kalau Caca malah baca tulisan di kertas kecil itu," ucapku ragu-ragu. Tak berani menatapnya, aku hanya menunduk sampil mendekap bukunya bersamaan dengan tasku. "Kalau Kakak gak keberatan, Kakak boleh cerita sama Caca. Mungkin gak bisa bantu banyak. Tapi ..."

Tanpa sadar nada bicaraku mulai meningkat, wajahku mulai mendongak. "Tolong, jangan benci diri Kakak sendiri apalagi sampai ..."

Aku ingin melanjutkan kata-kataku, tapi malah terpaku dengan ekspresi tenangnya. Duh, kenapa sih orang ini? Kalau terus seperti itu, aku malah semakin khawatir. Kalian pernah dengar bukan kalau banyak sekali orang yang menyembunyikan lukanya dengan sikap tenang atau senyuman? Sejujurnya aku benci itu. Rasanya menyakitkan, kenapa tidak dilepas, sih?

"Jangan enyah." Hal itu akhirnya terlontarkan dari bibirku. "Kakak masih layak hidup di dunia ini." Aku mengakhiri ucapanku sambil menunduk. Aku enggan melihat ekspresinya saat ini dan ... enggan membuatnya melihat air mataku yang tanpa sadar muncul meski tidak banyak.

Hening sesaat sebelum akhirnya ia tersenyum tanpa kusadari.

"Makasih, hehe," katanya sambil menarik buku yang ada dalam dekapanku. Tentu saja hal itu langsung membuatku mendongak dan ... menangkap senyuman yang kupikir akan terasa menyakitkan namun yang kulihat hanya sebuah senyuman biasa tanpa ada hal lain di baliknya.

"Kenapa?" tanyaku. Sementara itu, ia malah tertawa. Ya ampun, serius aku tidak mengerti. "Duh, kok malah ketawa, sih?"

Jelas, aku panik-sekaligus malu. Sekarang, entah kenapa aku malah memikirkan kemungkinan lain.

"Kamu kayaknya salah paham, Caca." Kata-kata yang keluar dari bibirnya itu kini bagaikan sebuah sambaran petir bagiku. "Kertas tulisan merah, kan?"

Cepat-cepat aku mengangguk. Kepalaku rasanya kosong-blank. Sementara Kak Fajar masih saja tersenyum.

"Itu prompt buat nulis cerita di grupku. Tulisannya harus ada kata-kata itunya. Jadi-"

"Kak, Caca ga bohong kalau Caca malu. Sumpah, jangan bilang sama Erena kalau overthink Caca kambuh depan kakaknya. Sumpah Caca malu," jelasku tanpa sadar-juga mempermalukan diriu sendiri di hadapan sosok yang jadi cinta pertamaku. Oke, lupakan itu, aku mau pulang saja sekarang.

Kini, aku menghela napas panjang sebelum akhirnya menepuk dahiku keras-keras. Berusaha menyadarkan diriku sendiri yang selalu saja berlebihan.

Baru kemudian berkata, "Syukur deh kalau tulisan itu gak berarti macem-macem. Sekarang Caca mau pulang ya, Kak? Udah telanjur malu."

Tak lama, suara kekehan kembali terdengar. Aku ingin mengabaikannya dengan cepat-cepat berbalik dan berjalan menjauh, lalu pulang. Namun ...

Tanganku ditahan oleh sesuatu, oleh seseorang. "Pulang bareng aja, yuk?"

Deg

Duh, pengen kabur.

END

***

Bogor, 3 Juli 2020

Finally done! And finally able to slip the name of the figure who should be my brother. Even though I've never met, the name I still want to remember.

Regards

Nari

Fated Rendezvous -  NPC's 30 Daily Writing Challenge 2020 [END]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora