Ritme, 16

770 136 21
                                    

Dalam keheningan menyelimuti mereka. Keduanya saling memalingkan wajah. Dibalik wajah yang disembunyikan, ada rona merah di kedua pipi mereka. Ranz fokus menatap jalanan. Sesekali melirik Khanza lewat kaca spion.

Khanza memperhatikan lalu lalang jalanan. Hembusan angin diluar terasa memasuki pori-pori wajah dengan kaca mobil terbuka setengah. Sekalipun terasa dingin, Khanza lebih menyukai angin malam dibanding Air Conditioning. Lebih terasa menyejukkan.

Mobil masuk ke dalam parkiran hotel bintang lima. Berbagai macam jenis dan warna mobil sudah berajajar sejauh mata memandang. Ranz memarkirkan dibantu sang tukang parkir. Ia menghentikan mesin.

Khanza melepas sealbelt. Menunggu kunci pintu terbuka. Ranz masih menatap ke depan. Menerawang jauh kesana. Berbagai kendaraan, beroda empat melaju kencang melewatinya. Ada sesuatu dalam pikirannya. 

"Kak kenapa?" Tangan Khanza menyentuh pelan bahu Ranz. Ranz terkesiap.

"Eh no problem." Ranz membenarkan kerah pakaian dari kaca spion, menutupi kegugupan melanda.

"Yuk turun. Takutnya terlambat nih,"

"O-oke."

Keduanya masuk ke dalam ballroom hotel lantai 30 dengan jemari saling menaut satu sama lain. Di samping itu, ada dua manusia dengan nafas tertahan. Rona bagai tomat terlihat samar tertutupi temaramnya lampu. Mungkin, bagi mereka ini adalah acara pertama-kencan setelah pernikahan dadakan beberapa hari lalu.

"Kak, kayaknya kalau aku datang. Aku pasangan paling jelek deh," Khanza mengerucutkan bibir. Melihat pantulan dirinya di pintu alumunium lift. Menunggu pintu terbuka.

Ranz menghela nafas. Menahan rasa tak karuan dalam dada.

"Mau cantik kek. Mau jelek, kalau udah sah pasti aku bawa kemana-kemana,"

"Tapi kan kalau jelek nanti malu-maluin. Aku gak terlalu bisa make-up selain natural kak,"

Pintu lift terbuka. Tiga orang keluar dari sana. Menyisakan mereka berdua didalam.

"Natural lebih baik kok,"

"Kalau kamu malu-maluin never mind. Asalkan," Ranz menggantung ucapannya. Melepas genggaman. Merapikan jambul.

"Asalkan?" Khanza mendongakkan kepala dibahu. Tinggi Ranz sebahu dengan kepalanya.

Pintu lift terbuka. Ranz kembali menautkan jemari. Menggenggam erat keluar dari lift.

Khanza terpana melihat suasana tempat ini. Ruangannya luas. Seluas cintaku padanya canda. Seindah ruangan ini, tetap saja keadaan hening. Dimanakah tempat Ranz maksud?

"Bukan disini." Ranz menarik, berjalan sedikit cepat. Setibanya depan sebuah pintu berukuran sedang. Ranz berkata.

"Good luck." Ranz mengedipkan sebelah mata. Walau Khanza sedikit bergetar. Takut penampilannya mengecewakan. Ia tetap tersenyum.

"Sini, pegangan." Ranz menyerahkan bisep lengan terbalut jas. Khanza tetap bergeming. Ragu. Tanpa basa-basi, Ranz menarik tangan Khanza. Mengalungkan dilengannya. Lantas, mengusap pelan kepala Khanza.

Pacar.

Cukup diucapkan dalam hati. Jika Ranz mengeluarkan kata itu dari bibir. Ia takut Khanza tak bereaksi seperti yang ia bayangkan.

Ranz menempelkan jari pada fingerprint. Pintu terbuka. Khanza semakin terpana melihatnya. Salah satu tempat yang belum pernah ia kunjungi secara nyata. Pertama kalinya datang. Selain memandang dari teknologi.

"Sini." Ranz mengubah genggaman dengan rangkulan possesif. Takut gadisnya pergi hilang dan lupakan tiba-tiba.

Khanza sendiri pun tak terlalu terganggu dengan rangkulan kekasihnya. Walau, hatinya berdesir tak karuan. Mungkin karena belum terlalu terbiasa.

RITME; Married with SelebritiWhere stories live. Discover now