Ritme, 6

861 199 37
                                    

Ranz memarkirkan mobilnya dipekarangan masjid. Ia baru ingat sekarang hari Jum'at. Kewajibannya sebagai lelaki hampir saja ia lupakan. Ia melirik arloji. Belum terlambat. Segera, Ranz bergegas mengambil air wudhu. Mengisi shaf yang kosong terlebih dahulu. Ia tak acuh terhadap sekelilingnya.

Seusai salam. Ranz baru menyadari. Siapa gerangan yang duduk disampingnya. Tanpa menunggu lama, selesai shalat. Ia menepuk bahu Afkar.

"Assalamualaikum. Lo masih inget gue kan?" Ranz sedikit memiringkan wajahnya.

Afkar menoleh. Tersenyum. "Waalaikum salam. Kebetulan lagi ya kita ketemu."

Ranz mengangguk tersenyum. "Karena sekarang kebetulan. Kebetulan juga gue ada maksud ketemu lo. Dan gue harap, lo terima permintaan gue. Tunggu sebentar," Ranz berlalu keluar. Entah kemana.

Afkar tampak sedikit kebingungan. Ia menunggu kedatangan Ranz. Maksud?, gumamnya.

Tak lama, Ranz datang. Membawa sebuah paper bag berukuran kecil. Wajahnya tampak sedikit khawatir.

Afkar sedikit mengangkat alis. Kala Ranz sudah sampai tepat dihadapannya.

"Gue bermaksud ketemu lo bertujuan untuk,," Ranz menarik nafas panjang. Membuangnya perlahan.

"Mekhitbah saudara kandung perempuan lo." ucapnya. Dengan satu tarikan nafas. "Khanza,"

Afkar sangat terkejut mendengarnya. Ada secercah kebahagiaan menghampirinya. Bukan, bukan menghampirinya. Melainkan menghampiri kebahagiaan adiknya. Khanza.

Sepertinya, jika Afkar menerima ini tanpa sepengatahuan Khanza akan menjadi surprise yang takkan tergantikan. Mengingat Khanza pernah sekali bercerita tentang Ranz dahulu. Terutama, profesi Ranz saat ini sebagai selebriti papan atas.

Tak salah jika ia menerimanya. Karena, ia merasa kasihan juga terhadap Khanza. Merasa kesepian. Tanpa kehadiran orang tuanya. Semua kakaknya sudah menikah. Hanya Khanza saja yang masih dalam proses pencarian.

"Khanza tau lo bermaksud nge-"

"Nggak. Gue ketemu dia cuman kebetulan saja. Dan kita belum pernah saling mengenal sebelumnya."

"Kenapa lo pilih adik gue sebagai is-"

"Gue cuman mau coba aja pacaran sekali seumur hidup gimana rasanya. Penasaran. Kalau soal pilih Khanza. Gue punya hutang cerita sama lo. Tapi gak sekarang."

"Lo yakin mau pilih adik gue?"

"Kalau gue gak yakin. Impossibe gue bakal datang temuin lo," Afkar mengangguk. "Diterima gak?" tanya Ranz. Raut wajahnya menampakkan keseriusan. Tidak ada kebohongan disana. Membuat Afkar tak perlu ragu. Sebelumnya, tanpa sepengetahuan Khanza. Ada seseorang yang terlebih dahulu melamar adiknya. Setahun yang lalu.  Afkar menolak secara perlahan. Padahal, bisa saja ia menerima dengan sepenuh hati. Hanya saja, Khanza takut mengalami trauma kedua kalinya.

Afkar tersenyum dengan pasti. "Diterima, tapi mahar-"

Lagi-lagi, Ranz memotong ucapannya. Mungkin karena ia sudah tak sabar. "Surah Ar-Rahmaan. Cukup?"

Afkar mengangguk. "Ijab Qobul dulu. Mumpung ustadznya masih ada disini. 2 orang saksi juga cukup."

Refleks, Ranz mengucapkan hamdalah sembari sujud syukur. Afkar hanya menggeleng-gelengkan kepalanya tersenyum.

Setelah proses ijab qobul selesai. Ranz membacakan Surah Ar-Rahman menggunakan microphone masjid. Sepertinya, suaranya akan menjadi mp3 kotanya sementara. Ranz tak perduli seberapa malunya ia. Yang terpenting, Khanza sudah sah menjadi miliknya tanpa sepengatahuannya.

RITME; Married with SelebritiWhere stories live. Discover now