79 | climax or anticlimax?

Start from the beginning
                                    

Tapi Sabrina tetep gugup.

Secara, malam ini dia harus bertemu Pak Gubernur yang biasanya cuma dilihat di TV. Jadi meski sudah yakin akan kemampuannya, dia berusaha dua kali lipat lebih teliti, lebih bekerja keras. Timnya juga.

Dan tentunya yang lain juga bersemangat karena bonus besar menanti.


~


Karena gladi resik berjalan lancar, Sabrina lebih percaya diri di hari H. Cuma masalah keamanan saja yang membuatnya agak cemas, mengingat banyak undangan VIP dari kalangan pejabat. Tapi Juned sudah meyakinkan bahwa semuanya sudah siap, bahkan jika ada nanti terjadi keributan yang disebabkan oleh membludaknya jumlah media yang ingin meliput. Bahkan saking siapnya, ambulans sudah standby di parkiran.

"Santai, Buk. Muka lo nggak presentable banget di nikahan orang." Karen berbisik lewat HT. Cewek itu mengawasi Sabrina yang duduk di pojok belakang meja resepsionis lewat tempat duduknya di dekat panggung.

Sabrina mendengus, lalu menyahut galak. "Jangan dipakek main-main HTnya."

Karen ngakak, lalu kembali duduk menghadap MC yang ada di sebelahnya, menunggu aba-aba dari Sabrina untuk memulai acara.


~


Begitu acara sudah mulai, panggung hiburan sudah jalan, MC sudah memimpin acara, barulah Sabrina bisa rileks.

Perannya memang tidak terlalu penting di hari H. Cuma beban mental saja yang lebih besar dibanding yang lain, karena ini projectnya. Dia yang bertanggung jawab atas kelancaran semuanya.

"Sab."

Sabrina menoleh.

Zane memanggil.

Bosnya itu mengenakan setelan formal malam ini.

Cakep.

Sedih sekali, dua kali melihat Zane berpakaian rapi begini, dia tidak bisa menggandengnya sebagai pasangan, malah duduk di pojokan memakai seragam EO. Untung seragam baru mereka yang dipesan khusus oleh Juned untuk project-project besar seperti ini tidak norak. Cuma setelan jas dengan celana panjang. Potongannya juga bagus. Membuat mereka sekilas mirip tamu dibanding staf EO.

Sabrina lalu menghampiri.

Dari tadi memang dia tidak sempat melihat Zane karena fokus bekerja.

"Bokap dateng." Zane mesem. "Yuk gue kenalin bentar."

Sabrina bergeming.

Orang tua Zane.

Mendadak tenggorokannya kering.

Bagaimanapun juga dia takut kekhawatirannya jadi nyata, meski peluangnya kecil.

"Gue kerja, Bang. Lo kan nggak suka kalau kita nggak profesional." Sabrina ngeles dengan suara memelas.

Zane cuma geleng-geleng gemas. "Nggak sampe lima menit, kali, kenalan doang."

Digamitnya lengan Sabrina supaya berjalan mengikutinya.

Para tamu sedang sibuk makan di meja bundar masing-masing.

"Bokap duduk di mana?" Sabrina bertanya enggan, berusaha memperlambat langkahnya.

Tapi karena dia tidak mengenakan heels, dan tidak memakai rok, dia jadi tidak punya alasan untuk bermanja-manja.

"Dih, yang bikin denah meja siapa?" Zane mencibir. "Noh, di pojok depan."

Sabrina menelan ludah.

Ballroom yang beberapa hari ini terasa sangat luas dan nyaris membuat kakinya copot saat harus mondar-mandir di dalamnya, mendadak jadi terasa sangat sempit. Tiba-tiba saja meja yang akan mereka tuju sudah terlihat tidak jauh di depan. Padahal rasanya baru beberapa langkah.

Dan seorang pria bersetelan hitam di meja itu mendadak menoleh, melihat sosok anaknya di kejauhan.

Langkah Sabrina terhenti.

Tercekat.

Tanpa sadar dipeluknya lengan Zane untuk menopang diri agar tidak luruh ke lantai.

Dunianya runtuh.

Fix.

Dia dan Zane tidak akan pernah bisa bersatu.

Roger nampak terkejut juga.

Tentu saja. Siapa yang bakal mengira dunia benar-benar sesempit ini?

"Kenapa?" Zane menoleh.

Sabrina refleks menatap ke langit-langit untuk menahan air matanya turun.

"Aish, gue malu. Masa kenalan pas lagi kerja gini?" Sabrina berbohong, berusaha mengatur napas dan menstabilkan emosi.

Dia boleh menangis.

Tapi nanti, kalau sudah di rumah.

"Kan udah gue bilang, bokap selow orangnya."

Sabrina menghela napas, kemudian mengangguk, memantapkan dirinya sendiri. Dipandangnya pria di ujung depan yang sudah sedari tadi fokus memperhatikannya. Dia gelengkan kepalanya samar pada pria itu, memberi isyarat agar kooperatif, lalu mengikuti langkah Zane untuk meniadakan jarak.

Zane menarik salah satu kursi.

Di meja itu ada tiga kursi terisi dan dua kursi kosong. Sabrina mengangguk pada ketiganya setelah diperkenalkan.

"Hai, Om."

Akhirnya perempuan itu mengulurkan tangannya yang terasa berat, berusaha nampak ceria meski lidahnya mendadak terasa pahit.

"Saya Sabrina."

Yang diajak berjabat tangan membalas ulurannya. Ekspesinya nampak netral, mengikuti ekspresi Sabrina.

Lalu Zane yang lebih banyak bersuara menggantikannya, saat kedua rekan Papanya nampak antusias ingin mengenal calon sang calon mantu lebih lanjut.

Sabrina menghitung tepat lima menit, saat MC mulai menanyakan barangkali ada tamu undangan yang ingin menyumbang lagu.

"Saya permisi dulu. Nggak enak ninggalin tempat lama-lama. Nanti dicari yang lain."

Dia mendapat izin dan segera berlalu.

Hatinya mencelos.

Ingin rasanya dia menangis sekarang.

Memaki semesta yang senang mempermainkannya.

Tapi dia masih harus menahannya, setidaknya sampai dua jam ke depan.



... to be continued


W lagi ngetik ini buat karyakarsa gak kelar2 :(

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

W lagi ngetik ini buat karyakarsa gak kelar2 :(

Panjang banget 7k kata belom kelar? Yash, karena mereka berdua tiap ngobrol selalu sambil cuddle manjalita, kalo pake durasi, keknya banyakan cuddle dan kisseunya daripada ngobrol :(


PS. cerita ini kurang 5 part lagi [pendek2 pula] tamat!!

Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Where stories live. Discover now