31 | dilempar ke kolam buaya

181K 19.4K 497
                                    




31 | dilempar ke kolam buaya



SABRINA keluar kamar sambil menggendong Milo.

Sekarang baru pukul setengah enam pagi, tapi dari tadi sudah terdengar suara musik dari ruang depan.

"Tumben semua pada bangun pagi?" tanyanya ke Juned---yang nampak dehidrasi sehabis olahraga---saat berpapasan di dapur.

Musik sudah dimatikan. Tidak ada dumbble kececeran di karpet. Seperti sudah selesai olahraga semua.

Jun meneguk air dari gelasnya sampai tuntas, sambil mengelap dahi dengan handuk, baru kemudian menoleh. "Elo aja kali yang makin hari makin doyan ngebo. Mentang-mentang betah! Udah kayak di rumah sendiri!"

"Mulai deh, ngajak ribut." Sabrina menghela napas, menurunkan Milo dari pelukan, yang langsung berlarian kesana-kemari saking senangnya setelah semalaman terkurung di kamar Sabrina. "Zane mana?"

"Udah masuk kamar lagi."

Sabrina ber-ooh panjang.

"Nape?" Jun menempatkan gelasnya ke bawah dispenser untuk diisi lagi. Lambungnya memang ngalahin unta. Muat banyak.

"Nggak pa-pa. Nanya doang. Soalnya tadi gue denger suaranya."

Jun mendengus. "Lo nggak ada niat ngajakin doi ngobrol, gitu?"

"Dalam rangka apa?"

"Ck. Kita tukeran badan aja gimana, Sab? Jadi cewek nggak ada peka-pekanya!"

Sabrina menautkan alis. Sumpah, dia nggak paham, ini arah pembicaraannya ke mana, ya?

Ngobrol sama Zane?

Topik apa gitu yang perlu diobrolin?

Dan kenapa harus dia? Bukannya lebih enak ngobrol sama temen sejenis? Segender? Ya biarpun Jun casingnya doang yang laki.

"Serius, Bang Junaedi. Gue nggak ngerasa ada yang perlu diobrolin. Sebagai bawahan dengan bos, atau bahkan sebagai sesama alumni Universitas Jenggala yang cuma sekedar kenal dan nggak akrab."

"Ck." Jun meneguk air putihnya lagi, dan Sabrina menunggu dengan tabah. "Itu Zane makin kusut aja dari hari ke hari, coba lo hibur, napa? Pasti pusing juga tuh doi, project kita di hold ampe tahun depan semua. Duit dari mana buat ngegaji kita-kita? Jangan sampe kita dipecat, lah, Sab."

"Terus gue bisa apa?"

"Ajakin diskusi, kek. Tu anak kan gengsian, nggak mungkin bakal inisiatif ngajak-ajak kita ngobrol kalo ada masalah. Selalu dipikir sendiri. Padahal kan kita tahu dia nggak pinter-pinter amat."

"Hush, jangan kenceng-kenceng, Kampret!"

"Dia nggak mungkin mau ngobrol ama kita sebagai bawahan, karena jaga wibawa. Tapi kalo lo ajak ngobrol—dengan elo sebagai cewek, dalam tanda kutip—kayaknya masih bisa luluh, lah."

"Mana ada?!"

Jun mencibir. "Mana ada? Itu timbang lagi dilep aja sampe dikelonin gitu! Kalo nggak ada hati sama lo, mana mungkin?!"

Sabrina melotot, menoleh ke pintu kamar Zane, yang Alhamdulillah masih tertutup rapat. "Hush, mulut lo gue jepret juga, nih!"

"Ck. Emang susah ngomong sama cewek setengah mateng! Pantes aja lo selalu diputusin, nggak pernah bisa pacaran lama! Hati aja nggak punya!"

Sabrina memutar bola mata.

Siapa bilang dia nggak pernah pacaran lama? Sama Bimo dua tahun, bisa. Ya, menurut standar Sabrina, dua tahun udah lama, sih. Nggak tahu kalau menurut Junaedi.

Junaedi akhirnya meletakkan gelas kotornya ke dalam sink. "Gue mandi dulu, lah. Gantian lo yang masak."

"Hmm."

"Tapi bahan kita udah pada abis, deh, kayaknya. Tinggal sisa-sisa."

"Hmm."

"Feeling gue sih kita bakal di sini lebih lama, karena tadi gue lihat di berita, makin banyak aja PDPnya. Jadi mungkin nanti atau besok lo harus pergi belanja."

"Hmm."

"Jangan hmm-hmm doang, dong."

"Ya mau gimana? Yang lo bilang udah bener semua!"

"Dah, lah. Coba lo nanti masaknya sambil merenung. Sama ngarang dialog buat ngajakin si Zane ngobrol."

Sabrina mulai mengeluarkan makanan Milo dari kabinet, tidak benar-benar mendengarkan lagi ucapan temannya, sampai akhirnya Jun pilih langsung naik ke kamar untuk mengambil baju ganti.


~


Zane yang terakhir keluar dari kamar, setelah dipanggil berulang-ulang oleh Sabrina. Rupanya selesai mandi tadi, dia leyeh-leyeh lagi di kasur sambil menunggu sarapan siap. Dan dia ketiduran.

Saat membukakan pintu, yang dilihat Sabrina memang seorang Zane dengan muka bantal dan rambut kusut.

Padahal Zane akhir-akhir ini selalu bangun lebih pagi dibanding Sabrina, dan selalu menyempatkan diri olahraga sebentar.

Tapi kata Jun, kemungkinannya ada dua. Kalau jam lima itu orang sudah mulai olahrahga, bisa jadi Zane memang sengaja bangun pagi, atau malah tidak bisa tidur sama sekali.

Sabrina duduk di sebelah Jun dan mulai makan. Fokus mengunyah tiga puluh dua kali tiap suapan.

Hening.

Zane sibuk dengan ponselnya, sementara Sabrina dan Jun sesekali main pelotot-pelototan.

Kalau menurut rencana yang mereka susun tadi pagi, harusnya saat ini Sabrina mulai mengajak Zane berbasa-basi. Tapi karena itu cewek tetap membisu sampai nasi di piring Zane tinggal setengah, akhirnya Jun menginjak kakinya, memberi kode.

Sabrina melotot lebar-lebar.

Sumpah, Jun nggak nanggung-nangguk kalau menginjak kaki orang. Nggak lihat-lihat kalau kaki Sabrina jauh lebih kecil dan lebih rapuh dari kakinya. Pakai segenap dendam kesumat!

Dan karena Sabrina tetap tidak peka meski sudah diinjak, akhirnya Jun terpaksa angkat bicara. "Bahan makanan kita udah pada abis lho, Zane. Karena jumlah hari karantinanya nambah, otomatis kudu belanja lagi."

Zane mengalihkan pandangannya dari layar ponsel di tangan, manggut-manggut. "Ya udah, nanti salah satu pergi belanja sama gue."

"Sama Sabrina aja. Biar bisa milih bahan yang fresh. Terus, btw ... kalian nggak pengen donor darah, apa? Tadi temen gue yang di PMI bilang mereka kekurangan stok darah. Soalnya acara donor di instansi-instansi pada dibatalin semua." Jun nyambung lagi, panjang lebar, plus mengemukakan ide brilian, yang sayangnya belum dibicarakan dengan Sabrina sebelumnya.

"Boleh." Zane menjawab lempeng.

Sabrina kontan melotot ke Jun. "Lo enggak pergi donor juga?"

"Gue ada hipertensi." Jun mesem.

"Ck. Alesan!"

"Serius. Lagian yang jagain Milo di rumah siapa kalo pada keluar semua? Lo mau kita balik-balik, rumah Zane udah jadi Titanic?"

Sabrina lalu melampiaskan amarahnya dengan menusuk udang di piringnya keras-keras. Begonya dia lupa kalau Jun ini nggak akan segan-segan melempar teman sendiri ke kolam buaya, asal dirinya selamat!



... to be continued


Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang