Tentu saja dengan bantuan Arif semuanya bisa menjadi terkendali, apalagi sekretarisnya ini sudah sarapan terus menerus dari bekal yang ia bawa. Kurang apa lagi? Tentu saja sekretarisnya menjadi berenergi, semangat dan sigap.

Bahkan sepertinya sekretarisnya itu ketagihan dan bahagia sekali dengan bekal-bekal yang diberikan kepadanya.
Padahal, dirinya saja biasa saja.
Memangnya apa istimewa dari bekal itu?
Bekal itu hanyalah buatan tangan biasa, yang menyertai dua orang saat pembuatannya.

Saka pun kembali menatap dokumennya lagi seperti biasa.

Di sisi lain, ada Airlangga yang melihat status sosial media Rani sedang berada di perpustakaan, padahal ini jam makan siang, bukannya makan pria ini malah memperhatikan gadis yang tidak akan pernah bisa menjadi miliknya.

Ia pun mengetik pesan ke Rani, namun setelahnya dihapus lagi, diketik, lalu dihapus lagi yang berujung tidak jadi. Ia pun melirik jam di ponselnya sendiri.
Mungkin ia akan kesana mengecek Rani sendiri setelah urusannya selesai.
Kapan lagi bisa bermodus ria dengan istri orang? Apalagi dengan adegan pura-pura bertemu dan pura-pura tidak tahu.
Kesan kejadian pada memori itu dibuat sendiri, bukan menunggu takdir datang sendiri, itu prinsip Airlangga.

Lalu Airlangga pun tersenyum sendiri, ia berharap gadis yang ingin ia temui akan tetap berada disana hingga ia selesai.

....

Rani melihat jamnya hampir pukul enam sore. Sedangkan perpustakaan akan segera tutup pukul enam pas dan semua akan pergi pukul tujuh.
Ia melihat ke arah ponselnya, belum ada pesan yang membalasnya bahwa Saka akan menjemputnya. Melihat langit sedikit mendung membuat Rani sedikit cemas. Di kotanya ini, hujan tidak akan bisa sebentar, belum lagi jika semua orang harus keluar dari perpustakaan.

Tapi, Rani sangat yakin bahwa Saka akan menjemputnya, apalagi Saka tidak pernah tidak mengiyakan segala pesannya. Ia pun mulai mengembalikan buku-buku yang diambil, dan berjalan keluar dengan pelan. Hingga sampai lah ia di depan gedung perpustakaan nasional ini.
Ia melihat ke arah langit, sungguh gelap sekali. Angin juga kencang membuat tubuh Rani merinding mulai kedinginan.

Melihat beberapa petugas mulai keluar dari gedung, Rani tersadar bahwa ini sudah benar-benar pukul tujuh malam.
Memalingkan wajahnya ke arah kanan dan kiri, tidak ada mobil yang ia kenal.

Rani tertunduk sebentar, bukan Saka yang datang, malah rintik hujan menghampirinya.
Ia mulai melangkah ke belakang dan memejamkan matanya sebentar.
Hujan mulai deras, ia mulai semakin ke arah belakang.
Namun ia berpikir, bagaimana jika Saka tidak melihatnya? Bagaimana jika ia tidak melihat Saka juga?
Ia pun memberanikan diri untuk sedikit maju tetap menunggu pria itu datang.

Angin yang kencang membawa hujan ke arah dalam, hingga walaupun menunggu di depan yang terhadang hujan, Rani masih terkena air hujan tipis-tipis terhadap bajunya.
Seperti melihat Saka di hadapannya, ia pun berlari ke arah pria itu, yang berada payung kuning di genggamannya, ternyata bukan.
"Maaf, saya salah orang."
Lalu kembali ke tempat semula dengan keadaan basah.

Bodoh sekali Rani hingga salah melihat.
Ia pun mengusap tangannya untuk mencari kehangatan. Tubuhnya jadi menggigil saat ini.

Airlangga yang baru selesai urusan pukul delapan lewat, ia pun iseng ingin melihat apakah Rani masih ada di perpustakaan atau tidak.
Namun mengingat keadaan hujan seperti ini, membuat dirinya sangsi. Apalagi harusnya perpustakaan sudah tutup.
Tapi, tidak ada salahnya hanya lewat saja. Pikir Airlangga seperti itu.

Namun saat ia lewat, ia melihat Rani menunggu di depan dan tampak basah serta kedinginan. Ia pun mengambil payungnya dan langsung menuju ke Rani.
"Rani?"

Rani menatap Airlangga dengan gigi bergemeletuk,
"Mas Angga?"

"Kamu ngapain masih disini? Ayo pulang!"
Tangan Airlangga sudah menggenggam tangan Rani, namun gadis itu melepasnya pelan.
"Rani nungguin Saka aja, mas."
Airlangga mengusap rambutnya sendiri frustasi.
"Ini udah malam, Ran. Posisinya hujan, aku ga bakal ikut campur kalo posisinya ini ga hujan dan ini di rumah kamu sendiri. Tapi ini posisinya beda!"

Rani menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Mas pulang aja. Rani yakin kalau Saka pasti bakal jemput Rani."
Setelah mengucapkan seperti itu, tak lama kemudian pun langit bergemuruh dan mengeluarkan suara petir.
Rani terlonjak kaget, ia pun memejamkan matanya dan menunduk serta lebih merapatkan dirinya ke dinding.

Airlangga pun menelepon Saka.
Pria itu tidak bisa dihubungi.
Gila! Apa yang sebenarnya pria itu sedang perbuat?

Tetap menelepon, akhirnya pada panggilan ke empat telepon itu diangkat.
"Halo? Gila lu ya? Lu dimana? Lu biarin istri lu sendiri?"
Saka hanya terdiam di ponsel itu.
"Sebentar lagi saya sampai."

Gemuruh semakin terdengar di telinga Rani.
Entahlah, entah ia bermimpi atau semacamnya, hal yang terakhir ia lihat seperti bayangan Saka. Entah apakah itu kenyataan atau hanya halusinasinya saja.

Akan berlanjut...

.010920.

Re-wedding(?) - [END]Where stories live. Discover now