Hari itu dia diminta polisi untuk ikut ke kantor sebagai saksi. Dia dimintai keterangan, diajukan banyak pertanyaan. Dan ia menjawab sejujur yang ia bisa karena memang hal ini perlu dia selidiki sendiri. Semua itu menghabiskan waktu lebih dari lima jam hingga akhirnya polisi mengizinkannya untuk pulang. Namun, entah kenapa di saat seperti ini dia justru teringat pada Kaia. Apa Kaia sudah tahu mengenai ini? Apa dia sudah melihat beritanya? Kira-kira apa pikiran Kaia jika mengetahui ini? Mungkin Kaia bahagia karena bisa melihat dirinya dalam keterpurukan dan menganggapnya sebagai karma.

Tristan memasuki dalam mobil dan masih memikirkan bagaimana reaksi Kaia. Ia menekan nomor istrinya itu, setelah dua dengungan telepon diterima.

"Kamu nggak akan menelepon kalau nggak aku yang memulai, kan?"

"Aku lihat beritanya," Kaia berkata dengan nada yang datar, terlalu datar sehingga mengesankan ia sengaja melakukannya agar terlihat tidak peduli.

"Sudah ku duga," Tristan menghela napas. Mengedarkan pandangan ke pelataran parkir kantor polisi.

"Bagaimana?" tanya Kaia. Terbersit nada khawatir di sana.

"Aku diperiksa, masih saksi." Tristan menunggu beberapa saat namun sepertinya Kaia tidak memiliki kalimat yang tepat untuk menjawab kata-katanya. "Aku harus ke kantor sekarang. Banyak yang harus aku periksa."

"Ya."

"Tunggu aku."

Kemudian dia mematikan sambungan telepon.

Studionya tidak pernah terlihat sehidup ini. Beberapa wartawan duduk-duduk di depan studio mencari informasi. Untungnya para pegawai tahu mereka tidak boleh dipersilahkan masuk. Di dalam ruangan lebih kacau, masing-masing sibuk dengan tugas sendiri. Setiap beberapa menit sekali telepon berbunyi. Kebanyakan dari mereka merupakan pengguna jasa mereka yang meminta melakukan inspeksi ulang. Sisanya dari wartawan dan beberapa lagi dari keluarga korban yang meminta pertanggungjawaban. Tristan pun sudah memerintahkan Irma untuk mengeluarkan bantuan bagi para korban.

"Pak, semua yang diminta sudah saya taruh di meja."

Dan benar dugaannya, yang bertanggung jawab atas bangunan itu adalah Johan. Hampir semua hal dia yang melakukannya termasuk mendesain rumah dan memilih bahan bangunan.

"Kapan kita bisa mulai inspeksi gedung itu? Kita harus tahu penyebabnya secepat mungkin."

"Tadi saya sudah bicarakan ke polisi yang ada di sana. Katanya bisa dilakukan secepatnya. Kemungkinan besok sudah kita sudah bisa cek." Jawab Dimas. "kemudian, tadi saya sempat minta rekaman CCTV dari TK itu. Dan..." Tanpa melanjutkan kalimatnya, Dimas segera mengutak-atik laptopnya lalu memutar sebuah video. "Memang ada yang mengaku dari studio kita. Benar dugaan bapak..."

Meski pun tidak jernih, Tristan yakin bahwa yang terekam di dalam video CCTV itu adalah Johan. Ia mengepalkan tangan. Ternyata ini yang dimaksud dengan kejutan yang dia sebut sebelumnya. Pria itu ingin menghancurkannya. Dan dia bersumpah akan memenjarakan pria itu.

"Jadwalkan pemeriksaan di semua gedung yang dipegang Johan secepatnya," Tristan memerintahkan. Ia mengurut kening yang seakan mau pecah. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Johan akan melakukan ini padanya saat pria itu bekerja dengannya. Dia tidak tahu ada berapa bangunan yang berisiko untuk ditinggali karena perbuatan Johan. Dia tidak boleh bertindak gegabah sekarang.

"Pak! Ada artikel di forum yang memfitnah bapak yang bertanggung jawab atas kecelakaan itu dan semua informasi pribadi bapak sudah tersebar. Dua jam yang lalu." Dimas yang barusan pamit untuk menjalankan tugasnya tiba-tiba masuk dengan membawa ponsel. Ia menunjukkan artikel itu pada Tristan.

If Loving You is WrongWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu