sembilanbelas

Mulai dari awal
                                    

Tristan hanya tersenyum mengangguk. "Anak buah saya akan datang segera. Kalau memang ada kerusakan fatal, saya akan langsung berbicara dengan pemilik gedung. Ibu jangan khawatir."

***

"Dokter Kaiyaaaaaaaaaaa."

"Rina! Jangan berlari, ya ampun stop!" Bian menepuk kepalanya melihat anak berusia sepuluh tahun dengan piyama rumah berwana pink sakit berlari dengan menyeret infus ketika melihat Kaia.

Rina menghamburkan tubuhnya pada Kaia, dan disambut dengan hangat. Kaia menepuk-nepuk halus punggung Rina sebelum melepaskan pelukannya.

"Kamu harus dengar dokter Bian, kamu nggak kasihan?"

Rina menatap Bian ragu-ragu. "Dia punya jantung yang lebih kuat dari aku, aku nggak tahu kenapa dia teriak kayak bayi."

"Itu karena dokter Bian khawatir."

"Tapi aku lebih suka kalo dokter Kaia yang merawatku. Dokter kan yang mengoperasi aku."

Kaia menyingkirkan anak rambut Rina yang berantakan lalu memegang kedua bahu mungil itu. Dia ingat pernah meng-assist dokter Gama saat mengoperasi Rina. Operasi yang lancar dan sempurna. Rina pulih dengan cepat namun masih memerlukan satu operasi lagi agar semua bisa baik-baik saja dan kembali bersekolah seperti anak-anak lain.

"Yang mengoperasi kamu namanya dokter Gama, dokter cuma membantu di sampingnya supaya operasinya lebih cepat dan Rina nggak kesakitan."

"Tapi kata dokter Gama aku harus di operasi lagi, padahal rasanya aku udah sehat loh dokter. Dokter Kaia dengar jantungku, rasanya nggak aneh lagi kayak dulu."

"Hmm benarkah? Coba dokter periksa."

Kaia menempelkan telinganya ke dada Rina dan mendengar jantung anak itu berdetak agak cepat.

"Ini pasti karena kamu berlari." Kaia pura-pura mendelik marah. "Kalau Rina ingin cepat ketemu dokter Kaia, Rina harus menjalani operasi sekali lagi. Waktu akan segera berlalu sampai akhirnya Rina bisa keluar dari rumah sakit. Saat itu dokter janji akan ngajak Rina makan apapun yang Rina mau."

"Yang bener, dok?"

"Yah tentu saja!"

Kaia tertawa saat melihat Rina melompat kegirangan, lalu bergelayut di jas putih milik Bian dengan wajah memohon. "Dokter Bian buatin jadwal operasiku secepatnya ya. Aku mau cepet-cepet sembuh dan makan kue tart yang besar!"

"Baik-baik akan dokter sampaikan pada dokter Gama ya!" Bian mengiyakan meski sebenarnya jadwal operasi sudah lama dijadwalkan Gama.

"Makasih dokter Bian!"

"Anak pintar. Sekarang kembali ke kamarmu ya," ucap Kaia lembut sembari mengusap rambut Rina.

"Hmm, aku masih mau sama dokter Kaia."

"Kalau begitu dokter temani ke kamar."

"Ya! Ya!"

Bian memerhatikan Kaia yang menghilang di balik bangsal yang ditempati oleh Rina. Pasien yang sebelumnya menjadi tanggung jawab Kaia, penderita kelainan katup jantung. Semenjak Kaia cuti hampir seluruh pekerjaan yang ditinggalkan wanita itu diambil alih olehnya. Dan itu menyebabkan dirinya mengalami kemerosotan jam istirahat, makan tidak tepat waktu dan mungkin lebih parah dari itu, ia tidak mendapatkan waktu untuk berlibur. Tapi, dia tak pernah merasa sedikit pun terbebani dengan segala limpahan pekerjaan yang membludak tiba-tiba. Lelah memang iya, kesal tidak. Bian merasa itu sudah selayaknya dilakukan untuk Kaia. Semua itu memang tugasnya.

Sulit rasanya bertingkah tidak ada apa-apa ketika Kaia mengatakan ingin jatuh cinta padanya. Dia hampir kehilangan kendali yang berisiko membuat persahabatan yang telah ia bangun hancur berantakan. Satu-satunya cara agar ia bisa berhubungan dengan Kaia, agar ia bisa selalu berada di dekat wanita itu. Ia ingin melanggar batas itu sekali saja. Ketika batas itu dilanggar, ia tak akan bisa mundur lagi. Saat Kaia mengatakan ingin jatuh cinta padanya, rasanya ia ingin memeluk wanita itu dan mengatakan bahwa dia akan berusaha melakukan apa pun agar wanita itu jatuh cinta padanya. Ia rela dijadikan pelampiasan rasa kecewanya, jadi kanvas yang bisa dicoret-coretnya, atau sekadar jadi tubuh yang bisa dipeluk atau dipukul. Jatuh cintalah padanya apa pun resikonya.

If Loving You is WrongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang