77 | ke laut aja, sab!

Start from the beginning
                                    

"Skidipapap pala lu peyang!" Sabrina menjitak kepalanya.

"Terus lo ngapain, main-main di kasur? Jijik."

"Dih! Awas lo punya cewek. Gue bocorin kalo lo pernah bobo ama gue! Biar lo langsung diputus dan disantet!"

Akmal mendorong mulutnya sampai mingkem.

Sabrina menepis tangannya, mendengus keras, lalu meraih gelas teh hangatnya.

"Jablay lo tolong dikurang-kurangin, dong, Sab." Karen sok bijak.

Sabrina berdecih. "Kalian tuh, ada temen lagi gundah bukannya dikasih dukungan moril!"

"Sorry aja, tapi elo tidak layak mendapatkannya. Dukungan moril hanya untuk orang-orang suci, bukan yang bangsat kayak elo."

"Ck. Sebenernya ini semua akarnya dari Juned, tau! Gue ama si Bos bisa jadi kayak gini cuma korban! Kalau aja dia nggak ngurung kita sekamar dulu---"

"Pakek ngambing hitamin orang lagi, si Jablay! Elo mah sebelum itu juga udah demen nemplok-nemplok kayak koala!" Akmal mulai lagi.

"Tauk, ih! Makin jijik kan gue dengernya." Timothy sepakat.

Sabrina makin manyun. "Sumpah, kalian nggak ngerasain jadi gue, makanya bisa sepedes itu ngomongnya. Berduaan ama orang kayak Bos tuh, bener-bener mengikis iman."

"Kalo gue jadi elo, gue milih tidur di balkon." Karen berkata mantap.

"Gue di kamar mandi juga nggak pa-pa. Asal nggak sekasur sama yang bukan mahram." Akmal menyahut lagi.

"Elo juga, kampret!" Karen mendengus. "Nggak pernah nolak kalo ditempel-tempel ama cewek!"

"Gue nolak kalo ditempel elo!" Akmal membela diri.

"Gue kepikiran buat nempel elo juga kagak pernah, najis!" Karen mencibir.

"Dih, yang nemplok di pundak gue tujuh jam di pesawat kemaren siapa?"

"Ah itu kan elonya aja yang nyuri kesempatan. Gue sih jelas nggak sadar. Dan elo jelas punya hak penuh untuk ngedorong pala gue ke arah Sabrina!"

"Sabrinanya nemplok di pundak lo! Gimana bisa didorong, coba?"

Sabrina dan Timothy yang sudah bungkam dari tadi hanya bisa saling pandang.

"Ini lagi ada pertengkaran rumah tangga, ya?" Timothy berbisik. "Gue baru sadar mereka jadi kayak Tom and Jerry sepulang dari Sydney. Padahal dulu kayaknya liat-liatan aja nggak pernah, apalagi pelotot-pelototan!"

Sabrina manggut-manggut. "Gue nggak nyangka Akmal normal. Kirain dia cuma malu-malu kucing aja pas dideketin Juned."


~


"Udah beres semua buat persiapan project lo?"

Mbak Iis turun dari lantai tiga, membawa tas laptopnya.

Sabrina dan timnya akan briefing pagi ini, jadi Mbak Iis yang menggantikan Timothy di front desk.

Kerja serabutan begini memang banyak enaknya. Fleksibel. Nggak jenuh di kantor terus. Tapi ya gitu, kalau sedang menjalankan project di luar, butuh fisik sekuat Achilles.

"Udah. Tinggal briefing tim doang, Mbak. Lagi nunggu Juned."

"Juned ke mana?"

"Mampir ke konveksi. Ngambil seragam."

Mbak Iis manggut-manggut, menjatuhkan pantat di kursi Timothy.

Sabrina segera mendorong punggung teman-temannya yang masih duduk-duduk di sofa ruang tamu untuk memasuki ruang rapat, daripada ditanya-tanyain lagi.


~


"Sab?"

Karen menyenggol lengannya, sekitar sejam kemudian.

Mereka baru selesai briefing, sedang merapikan konsep sesuai cara kerja masing-masing.

Juned dan Timothy mencetak checklist karena mereka kebagian masuk divisi akomodasi. Mereka masih suka pakai cara primitif, corat-coret kertas. Sedangkan Karen dan Akmal sibuk memasukkan nomor telepon para pengisi acara yang harus mereka hubungi untuk koordinasi.

Sabrina menoleh ke arah yang ditunjuk Karen dengan dagunya.

Mbak Iis sudah melongokkan kepala di pintu.

Sabrina segera bangkit berdiri, menghampiri.

"Iya, Mbak?"

"Daftar undangan sebelum dikasih ke kurir lo cek dulu, nggak?" Perempuan itu langsung menodongnya dengan pertanyaan.

Sabrina mengerutkan dahi.

Seingatnya tidak ada undangan yang cacat.

Seingatnya dia sudah meminta pihak percetakan mengeceknya dengan seksama.

"Ada apa emangnya, Mbak?"

"Yakin nggak ada nama yang salah?"

Sabrina menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. "Kan list undangan langsung dari klien, Mbak. Kita copas doang. Mana mungkin kita tahu kalau daftar nama yang mereka kasih ada yang salah?"

Mbak Iis menghela napas.

Memang pihak mereka tidak bisa disalahkan. Kecuali ada undangan cacat.

"Paling nggak, kalau tamu VIP bisa chrosscheck dulu lah, sama kliennya. Apalagi cuma nama bokapnya Zane. Masa lo nggak ngeh kalau salah cetak?"

Bokap Zane?

Sekarang muka Sabrina jadi memucat.

Bukan cuma Zane yang punya citra buruk di hadapan camer. Dia juga. Satu sama.

"Mana udah mepet gitu, sekarang H-2. Terserah lo, deh, mau bikinin undangan baru apa lo samper kasih surat permohonan maaf. Masih ada, kan, undangan kosongnya?"

Sabrina sesak napas.

Tuhan, tolong Sabrina!



... to be continued

Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Where stories live. Discover now