72 | pertemanan bangsat

Magsimula sa umpisa
                                    

"Ya terus kenap---oh my God! Jangan bilang lo kesel karena gue keluar kayak gini? Dan bikin matanya Bang Mail jadi melotot."

Perempuan itu menunduk, mengamati penampilannya sendiri, lalu kembali menatap Zane dengan raut merasa bersalah.

Well, Zane memang tidak sempat melihat bagaimana ekspresi teman-temannya saat melihat Sabrina tadi karena keburu panik. Tapi kalau Sabrina bilang melotot, berarti memang seheboh itu, karena aslinya Mail bermata sipit.

Tangan Zane jadi mengepal tanpa sadar.

Teman-temannya dari dulu memang bangsat-bangsat semua, tidak terkecuali. Jangankan cewek nggak dikenal di pinggir jalan, ceweknya temen kalau bening dikit juga dipelototin.

Zane mau menangis. Tapi nggak tahu caranya. Plus malu juga.

Kayak gini nih, kalau karma dibayar kontan. Nggak pakai peringatan pula.

Nggak bakal lagi deh, dia nikung temen. Cukup seumur hidup sekali aja.

"But thank God, I picked this T-shirt earlier. Ini lebih tebel dari kaos lo yang biasa gue pakai." Sabrina meringis. "Sorry ... I didn't mean to look inappropriate in front of your friends."

Zane cuma bisa menghela napas.

Oke, nggak bisa dipungkiri bahwa selain fakta bahwa dirinya menikung Bimo, penampilan Sabrina tadi adalah hal kedua yang membuat Zane jadi sepanik tadi.

Kalau saja Sabrina sedikiiit saja tidak membuat temannya berpikir yang tidak-tidak, maka masih mending.

Kalau soal dirinya, bodo amatlah temannya bilang apa---ya meskipun kalau bisa, dirinya jangan sampai dianggap brengsek karena menikung teman sendiri plus meniduri mantan yang masih diharapkannya di depan mata---karena dia lebih khawatir Sabrina yang dipandang tidak baik.

Masalahnya, lingkar pertemanan mereka masih serumpun. Kalau mereka tahu, teman-teman Sabrina juga kemungkinan besar bakal tahu. Nggak lucu kalau itu cewek nanti digosipin yang tidak-tidak teman-temannya sendiri.

Sepanjang sejarah hidupnya, cewek-cewek yang dekat dengan Zane hampir selalu mengeluhkan bahwa mereka sering diasosiasikan sebagai tukang porot oleh cewek-cewek lain di lingkungan mereka, which is doesn't make sense at all. Kalau mereka tahu, waktu kuliah dulu, duit Zane bahkan nggak sebanyak itu untuk bisa diporoti.

Dan sekarang pria itu hanya bisa mengurut pelipis saking pusing. Berbanding terbalik dengan Sabrina yang nampak lebih lega. Dan itu membuat Zane sungguh ingin menyuruh perempuan di hadapannya ini bercermin, biar sadar diri. Biar setidaknya tahu kalau kecuek-bebekannya terhadap penampilan sehari-hari di rumah, yang hampir selalu sukses membuat Zane ambyar, jelas membuat cowok lain lebih ambyar lagi.

Tapi Zane tidak tega. Dia tidak suka melihat Sabrina merasa insecure terhadap hal-hal sepele.

Lagian, sebagai cewek, bisa-bisanya dia merasa aman begitu? Cowok bego mana yang nggak bisa melihat kalau dia nggak pakai---ah, sudah lah.

"Udah dong Zane. Jangan cemberut terus. It's not that I'm naked in front of them. After all, we've been to Bali together a few times, and my current appearance is even more appropriate than when we were playing beach volleyball."

"Gue nggak marah ke elo, Sab." Zane hanya sanggup menyahut singkat.

"Tapi akar masalahnya di gue kan?"

"Bukan. Di Gusti." Karena tidak bisa menahan diri melihat wajah menyesal Sabrina, akhirnya Zane menghampirinya. Duduk di bawah kasur, memeluk pinggangnya dengan gemas. "Ah, mereka ganggu aja, elaaah."


~


Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon