BAB 48

66K 6.3K 1.3K
                                    

"Ya, Ibu. Oh, Mia baru saja keluar. Aku akan memberikan ponselnya padanya, Bu." William tampak berbicara dengan seseorang via handphone. Begitu mendapati kemunculan Mia dari dalam kamar mandi, ia mengangsurkan benda tersebut. "Ibu sudah menunggumu sejak tadi."

Mia menerima ponsel pemberian William, lalu berbaring di atas ranjang.

"Halo, Bu, apa kabar? "

"Kurang baik, sebab belakangan kau sudah jarang menghubungiku," sahut suara di seberang yang tak lain adalah Cecilia. "Kau baik-baik saja, Nak?"

Mia tersenyum. Ibunya tidak pernah berubah, selalu senang memulai pembicaraan dengan nada protes. "Maaf, Ibu. Akhir-akhir ini aku sangat sibuk. Aku baik. Bagaimana dengan Ibu dan Ayah?"

"Kami juga baik. Semalam, aku memimpikanmu. Juga Marylin. Aku memimpikan sosok kalian semasa kecil, sedang bermain sama. Indah sekali," kata Cecilia kemudian. "Aku terlalu merindukan kalian."

Meski hanya via telepon, Mia dapat mendengar suara Cecilia bergetar. Sepertinya, sang ibu menangis lagi. Mia tahu, di saat-saat tertentu, Cecilia memang kerap mengingat Marylin dan bersedih karena merindukannya.

Mia menghela napas panjang. Sama seperti ibunya, ia pun turut merindukan sosok sang kakak. Lantas demi menguatkan Cecilia, Mia berkata, "Dia juga pasti merindukan Ibu di sana. Sudah, jangan menangis lagi, Bu. Dia sudah bahagia di surga."

"Aku tahu. Hanya saja, kenangan dan rasa rindu itu datang begitu saja," sahut Cecilia. "Astaga, aku benci menjadi cengeng seperti ini."

Mia tersenyum. "Ah iya, Ayah di mana, Bu?" tanyanya kemudian, mengalihkan pembicaraan. Tentu saja, agar Cecilia tidak kembali larut dengan kesedihannya.

"Ayahmu sedang mengobrol bersama temannya di luar. Bagaimana pekerjaanmu, Nak? Jangan terlalu lelah. Ingat, jaga kesehatan. Makanlah dengan teratur. Kau mengurus suamimu dengan baik, bukan?"

"Astaga, Ibu masih saja cerewet," ucap Mia seraya tertawa kecil. Lalu, pandangannya tertuju pada William. "Tidak, Ibu. Justru dia yang mengurusku. Menantu pilihan Ibu luar biasa."

Mendengar kalimat tersebut, William yang tengah duduk sambil membaca majalah bisnis di ranjang segera menoleh pada Mia. Memerhatikan wajah sang istri dengan raut penuh tanya.

"Tapi, aku serius, Nak. Kau jangan bekerja terlalu lelah. Kami para orang tua sudah sangat rindu menimang cucu."

Mia terdiam, lalu menghela napas panjang.

"Kau mengerti?" Cecilia bertanya lagi.

"Ya, Ibu. Aku mengerti."

"Ya sudah kalau begitu. Ayahmu memanggil, aku harus menutup teleponnya. Ingat berkunjung saat kalian memiliki waktu libur, oke? Sampai jumpa, Mia."

Usai membalas salam perpisahan Cecilia, Mia menutup ponsel dan menyerahkannya pada William.

"Ibu mengatakan apa?" tanya William sembari meletakkan benda itu di atas nakas.

"Ibu bertanya apakah aku mengurusmu." Lalu, Mia tertawa kecil. "Orang tua kita hanya tidak tahu keadaan yang sesungguhnya."

"Bahwa justru aku yang mengurusmu dengan baik?" tanya William, turut tertawa. "Tidak bisa kubayangkan, jika saja bukan aku yang menjadi suamimu."

Mia mendecih, matanya menyorot lelaki itu dengan tatapan sebal. "Aku juga tidak bisa membayangkan, jika bukan aku yang menjadi istrimu. Kau pikir, wanita mana yang tahan dengan sikapmu itu?"

"Memangnya, kenapa dengan sikapku?"

"Pikirkan saja sendiri," ketus Mia. Lantas, ia memutar tubuh membelakangi William. Menatap kosong pada dinding kamar, dengan pikiran yang berkelana ke segala arah. Kembali, ingatan wanita itu melayang pada hasil testpack yang digunakannya beberapa menit lalu.

My Silly WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang