BAB 22

81.5K 6.5K 465
                                    

"Apakah Addison selalu menyulitkanmu?"

Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir William. Mia yang tengah memainkan ponsel di atas ranjang menoleh ke arah sofa-tempat lelaki itu berkutat dengan majalah bisnisnya.

"Memangnya kenapa?"

"Kuperhatikan, dari semua karyawan di ruangan itu, kau sering menjadi orang yang pulang paling akhir."

Mia terdiam sebentar. "Dari mana kau tahu?"

"Jika saja kau lupa, aku pimpinan di sana. Tentu aku memiliki data absensi setiap karyawan. Aku juga tahu kalau pagi tadi, kau datang lebih dulu dari semua orang."

Seketika, rona merah menyembul di pipi Mia. Pagi tadi, ia memang sengaja berangkat ke kantor lebih awal demi menghindari suaminya.

"Maaf untuk soal semalam," kata William kemudian, seakan mampu membaca pikiran Mia. "Aku kehilangan kendali."

Mendadak, suasana berubah canggung. Mia menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Wajahnya memanas tatkala pandangan mereka bertemu. "Aku juga," sahut perempuan itu.

Mau tidak mau, ingatan Mia kembali melayang pada peristiwa kemarin malam. Saat bibir mereka bertemu dengan lidah saling menaut, diiringi jemari bergerak lincah menjelajahi tubuh masing-masing. Mia bahkan masih ingat bagaimana William menggendong dan membaringkannya di atas sofa. Lelaki itu nyaris melepas dress yang ia kenakan, tetapi kesadaran segera menyentak Mia.

Mia menolak tubuh William. Keduanya sama-sama tertegun kemudian. Dengan gerakan canggung, Mia memperbaiki pakaiannya, lalu berderap meninggalkan sang suami. Usai insiden tersebut, keduanya saling membisu. Sisa malam yang ada benar-benar mereka habiskan dalam hening.

"Sepulang kantor tadi, apakah Ethan sengaja menunggumu?" William terdengar bertanya lagi, menyadarkan Mia dari lamunan. Perempuan itu menggeleng cepat.

"Tidak. Kami kebetulan bertemu ketika aku keluar dari ruangan."

"Pada saat jam kerja ... apakah kalian sering bertemu juga?"

Mendengar pertanyaan William, dahi Mia berkerut dalam. "Bagaimana mungkin tidak bertemu, ketika kami berada pada divisi yang sama?"

"Maksudku-" William berdeham sebentar, "apakah pada waktu-waktu tertentu, dia sering menghampirimu? Atau memintamu datang ke ruangannya?"

"Mengapa kau begitu ingin tahu?"

William meneguk ludah. "Lupakan saja," ketusnya. Lelaki itu meletakkan majalah di atas meja, lalu berjalan menuju tempat tidur. Ia merangkak mendekati Mia, tangannya bergerak seolah ingin memeluk perempuan itu. Mia lekas-lekas beringsut. Sembari memandang William penuh antisipasi, diraihnya selimut untuk menutupi tubuh.

"Jangan berlebihan begitu. Aku hanya ingin mengambil bantal ini." William berkata jengkel, seraya menarik gulingnya yang terhimpit lengan Mia. Menyaksikan itu, Mia mengembuskan napas lega.

"Tidak kusangka, kau masih saja memikirkan hal itu." William tersenyum mengejek, seraya berbaring di sisi sang istri. Dipandangnya Mia dengan tatapan menggoda. "Atau ... haruskah kita benar-benar melakukannya?"

"Kau sudah gila." Mia mengumpat kesal, lantas memunggungi William.

Seketika, tawa William berderai. Bahkan begitu lepas, hingga membuat Mia tertegun. Ini kali pertama ia mendengar lelaki itu tertawa. Menyadarinya, entah mengapa dada Mia terasa hangat. Hingga perlahan, bibirnya turut tersenyum.

***

Mia mengambil selembar roti, mengolesinya dengan selai. Di depannya, William tengah meneguk kopi. Sesekali, lelaki itu mencuri pandang pada Mia, memerhatikan beberapa perubahan dalam diri sang istri.

My Silly WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang