#38 ayana dan senyumnya

8.3K 1.1K 45
                                    

Bima bersedekap sambil memakan apelnya. Sementara ia tengah duduk di kursi dekat bar dapur. Dilihatnya Bagas yang sedang membuka lemari es dan mengeluarkan sebotol air mineral berukuran sedang. Bima berdehem, “Tolong ambilin gue apel, dong. Sekalian pumpung lo lagi buka kulkas—“

Bima terkesiap saat pintu kulkas ditutup kasar. Ia bahkan belum mendapatkan apelnya. Sementara Bagas pergi menuju sofa dengan santainya sambil menyalakan televisi. Bima mendecak sebal. Sejak kemarin Bagas mengabaikannya. Menganggap Bima seolah-olah makhluk astral yang tak kasat mata. Ditanya nggak dijawab, diajak ngobrol malah pergi, lama-lama Bima nggak ada harga dirinya sebagai abang.

Dikunyahnya kuat-kuat gigitan terakhir apel di tangannya. Bima sudah muak. Ia berjalan menuju sofa, merebut remote dari tangan Bagas lalu menekan tombol merah di sana hingga membuat layar televisi menjadi gelap kembali. Bagas sempat menatap tak suka. Tapi kemudian, ia malah memilih meninggalkan ruang tamu dan hendak pergi menuju kamar. Namun, Bima menarik kerah bagian belakang kaos Bagas dan membuat cowok itu mengaduh karena terjatuh. Bagas melotot. “Apa, sih?!”

“Lo yang apa?!” sahut Bima tak kalah nyolot. “Masih kesel sama gue?”

“Udah tau nanya!”

Buset, jujur amat. Basa-basi dikit, kek! Bima berdehem. “Gue nggak suka sama Yura.”

“Nggak nanya,” sahut Bagas cepat, membuat Bima terkesima.

“Bentar, deh. Lo dengerin cerita versi gue dulu—“

“Nggak peduli.”

Bima kesal bukan main. Bima itu paling nggak suka kalau lagi ngomong dipotong-potong. Rasanya ia pengin memberi sedikit pelajaran pada mulut adiknya ini. Dijejali kaos kaki enak kali, ya?

“Gue nggak ada niat nyembunyiin apapun dari lo. Gue nggak bilang ke lo soal itu karena menurut gue emang nggak penting.”

“Ya, ya. Emang yang penting itu cuma urusan lo doang.”

Bima mengernyit tak suka. “Kok lo ngomongnya gitu, sih?”

“Ya terus gimana, dong?”

Bima gemas ingin menarik kerah kaos Bagas agar cowok itu lebih mendekat. Jadi biar lebih enak aja nonjoknya. Tapi, urung. Niat itu masih disimpan di dalam hati karena Widya tiba-tiba datang. Nggak lucu, dong, kalau dua bersaudara ini tonjok-tonjokan di depan mamanya sendiri. Yang ada Widya bisa pingsan.

“Bim, dapet paket, nih.”

Bima mengangkat satu alisnya. “Buat Bima, Ma?”

“Iya, kali. Kata kurirnya sih, gitu.”

Usai menyerahkan bingkisan, Widya pergi meninggalkan mereka berdua di ruang tamu. Paper bag biru muda lagi. Bagas tersenyum kernyih melihatnya. “Sesuka itu ya dia ama lo? Kita lagi berantem aja, dia masih sempet ngasih bingkisan kayak biasa.”

“Sial.” Bima sudah tidak tahan. Ia menarik kerah kaos Bagas dan mendorongnya ke sofa. Menyingkirkan tubuh itu dari hadapannya agar dia bisa segera mencapai pintu. Bima melihat seseorang ber-helm yang sedang berusaha menyalakan mesin motor. Belum sempat motornya menyala, Bima sudah menerjang tubuhnya duluan. “Siapa yang nyuruh lo?!”

“Saya nggak bisa bilang, Mas! Rahasia perusahaan!” ujar kurir itu sambil berusaha melepas tangan Bima dari kerah kemejanya.

Bima menyeringai. “Beneran nggak bisa, nih?”

Kurir itu menelan ludahnya susah payah. Mendadak, ia menangkap sinyal bahaya. “Oke, saya anter.”

*

Hello, Bagas! ✔Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt