#01 asal mula jatuh cinta

36.4K 2.7K 88
                                    

"Yah, salah tulis!"

Wina menggaruk kepala. Melihat Ayana bertopang dagu di sebelahnya membuat cewek itu menggebrak meja. "Na, bagi stipo!"

Ayana tersentak, "Apaan sih, Win! Kaget, gue! Lo pikir jantung gue ada berapa?!"

Wina cekikikan. Diambilnya stipo dari kotak pensil hasil korek-korek tas Ayana tanpa izin. Ayana melengos kesal. "Lagian bengong mulu. Ayam tetangga gue keseringan bengong ditemukan tak bernyawa, lho!" ujar Wina.

"Bagas jadian sama Yura."

"Apaan?!" Wina menoleh hiperbolis. "Bagas jadian sama Yura si cewek Jepang yang sekelas sama kita itu?" tanya Wina sambil berbisik. Takut pembicaraan mereka didengar.

Ayana mengangguk lemah dengan tampang menyedihkan. Melihat itu, jiwa keibu-perian Wina merasa terpanggil. Ia membuka tangan lebar-lebar. Memeluk Ayana sambil menepuk punggungnya pelan. "Yang sabar ya, Na. Namanya juga hidup pasti banyak ujiannya. Kalo nggak mau diuji, ya jangan hidup."

Ayana menatap Wina dengan ekspresi datar. Hampir tak punya tenaga buat noyor kepala Wina yang kepalang koplak itu.

"Tapi kalo lo mau, gue ada."

Ayana mengernyit heran. "Ada apaan?"

Wina beringsut mendekat. Sambil memasang senyuman penuh arti yang mencurigakan.

"Gue punya kontak dukun. Siapa tahu lo mau melet si Bagas. Atau mau nyantet si Yura, mungkin?" tawar Wina dengan pedenya sambil memasang tampang yang minta ditampol pakai sendal masjid.

Ayana nyengir kuda sambil ngelus kepalanya Wina. "Kalo nyantet lo aja bisa nggak, Win?"

*

Semilir angin membawa terbang rambut Ayana. Dengan beberapa helai yang ia simpan di belakang telinga, mengakibatkan earphone yang ia pasang jadi terlihat. Sementara jemarinya bergerak lihai menoreh potongan-potongan garis di atas kertas. Sambil sesekali menoleh ke arah cowok yang tengah bermain basket sebagai objeknya. Bagas Abimana.

Ayana tersenyum. Ia tak tahu apa yang membuatnya menyukai Bagas sampai sekarang. Menurutnya, Bagas itu tak jauh beda dengan cowok kebanyakan yang selalu pergi Sholat Jumat, suka main bola sambil panas-panasan, suka main game, ngopi, dan lain sebagainya. Ayana tak melihat sesuatu yang special dari Bagas hingga ia melalui sebuah insiden saat upacara bendera. Dimana Ayana berdiri di tiga barisan paling belakang. Lalu Bagas tiba-tiba muncul dan mengisi barisan cowok di depan. Namun, ketika melewati Ayana, ia berhenti berjalan. Tangannya bergerak melepas topi abu-abu Ayana dan membuat gadis itu sedikit terkejut.

"Lo sakit?"

Ayana mengernyit bingung, tapi kemudian ia menggeleng. "Nggak, kok."

"Muka lo pucet."

Memang, sih, tadi pagi sebelum berangkat Ayana tak sempat sarapan. Dan perutnya agak sakit sedikit. Tapi, ia tidak apa-apa, kok. Baik-baik saja. Masih bisa tahan sampai upacara selesai.

"Udah, kalo sakit ke belakang aja."

"Eh, nggak. Gue nggak papa."

"Sini gue anter."

Bagas tiba-tiba menarik pelan tangan Ayana yang kebingungan. Beberapa orang bahkan memerhatikan mereka. Menjadikan mereka sebagai pusat perhatian sebentar, sampai Bu Hermy datang dan mau tak mau mereka harus diam dan meluruskan barisan.

Setelah mengantarkan Ayana ke medis, Bagas langsung menghilang. Sementara Ayana masih mematung dan bingung sambil memerhatikan tangan yang barusan digenggam seseorang yang tak ia kenal. Tapi tak lama, akhirnya Ayana mengetahui identitas cowok itu. Karena sahabatnya Wina pernah diantar pulang olehnya.

"Itu Bagas anak Mipa 1 masa lo nggak tahu, sih?! Makanya jangan bertelor mulu di kelas!"

"Adeknya pacar gue, itu. Baik anaknya," kata Wina.

Oh, jadi namanya Bagas.

Ayana berlari sekuat tenaga. Mengejar bis terakhir yang melewati daerah rumahnya. Untung saja ia tidak ditinggal. Walau harus berdiri dan sempit-sempitan karena tak dapat kursi. Tapi, itu lebih baik. Ayana bersyukur, daripada ia harus pulang naik ojol yang ongkosnya bisa dibuat pulang-pergi ke sekolahan. Dan lebih bersyukurnya lagi, entah Tuhan sedang baik padanya ataupun sekadar memberikan bonus karena harus lari-larian mengejar bis tadi, Ayana melihat Bagas. Di bis yang sama dengannya. Dan cowok itu sedang duduk di kursi yang sangat dekat dengan posisinya berdiri saat ini.

"Lo anak SMA 70, kan?"

Ayana terkesiap.

"Hah?"

Anak SMA 70, katanya? Yah... Berarti dia nggak kenal gue, dong?

Akhirnya ia mengangguk, "Iya. Gue anak SMA 70."

Bagas mengangguk singkat. Kemudian bangkit dari posisi duduknya-yang sialnya membuat posisi Bagas menjadi lebih dekat dengan Ayana.

"Lo duduk aja."

Ayana menggeleng sopan, "Eh, nggak usah. Itu 'kan tempat duduk lo."

Entah hanya perasaan Ayana saja atau apa, ia merasa kalau wajah Bagas semakin dekat wajahnya. Cowok itu memelankan suara di dekat telinga Ayana, "Gue curiga sama bapak-bapak yang berdiri di sebelah lo."

Apa?

"Jangan ditoleh. Lo duduk aja. Nggak papa. Karena kita teman satu sekolah, gue bakal jagain lo."

Ayana langsung duduk di tempat yang habis diduduki Bagas tadi. Ia memindahkan tas ranselnya dan memeluknya erat-erat. Untung dompetnya masih aman. Tapi yang jadi masalah, jantungnya deg-degan banget sekarang. Berkali-kali lipat jauh lebih deg-degan daripada hampir kecopetan.

Dan yang masih membekas di ingatan Ayana selain sedikit rasa takut karena hampir kecopetan adalah senyum manis Bagas yang ia dapat usai mengucapkan terima kasih.

Ayana bahkan masih ingat waktu Bagas bilang, "Hati-hati di jalan. Jangan lupa berdo'a biar selamat sampai tujuan."

Sumpah demi apapun, jantung Ayana langsung nyut-nyutan.

"Bagas! Oper dong, bolanya!"

"Males, ah. Kalo mau, ambil aja sendiri."

"Bagas, ih!"

Gerakan pensil Ayana mendadak berhenti. Ia lupa, kalau bukan hanya dia dan Bagas yang ada di sini. Tapi ada Yura juga. Yang lagi main basket sama Bagas sambil ketawa-tawa.

Ayana menghela napas, lalu membereskan semua alat tulisnya ke dalam tas. Sudah mau maghrib. Ia harus pulang. Takut ketinggalan bis juga. Ngapain juga lama-lama di sini kalau cuma ngelihatin si Bagas pacaran?

Ayana sudah bangkit dari posisi duduknya. Tapi, ikat sepatunya lepas. Jadi ia menunduk, menyimpulnya sebentar.

[]

Hello, Bagas! ✔Where stories live. Discover now