#45 buku PR

7.5K 1K 38
                                    

Ayana tersenyum saat milkshake yang tadi dia pesan sudah datang. Tanpa pikir panjang, Ayana langsung meminumnya, hingga menghabiskan sekitar seperempat gelas. Bagas yang melihat itu menarik sudut bibir.

“Kenapa cuma pesen air putih?” tanya Ayana dengan alis kanan terangkat melihat mbak-mbak pelayan kafe memberikan Bagas segelas air bening.

“Nggak cuma air putih, kok.” Bagas mengangkat gelasnya di hadapan Ayana. “Ada es-nya.”

Ayana mendengus pendek, lalu tersenyum tipis. “Lo udah bosen sama minuman berwarna nih, ceritanya?”

Bagas mengangguk serius. “Hidup gue udah penuh warna soalnya.”

“Apa hubungannya, coba?” tanya Ayana heran yang lantas tertawa. Ia kembali meminum milkshake-nya sambil membagi fokus pada buku tulis matematika yang penuh dengan soal.

Sembari bertopang dagu, Bagas memandangi Ayana. Rasanya, komik favoritnya mendadak tak lebih seru daripada menonton kesibukan Ayana yang sesekali mengerutkan kening karena terlalu memaksakan otaknya berpikir. Sudah Bagas bilang kalau Ayana itu manis jika sedang serius begitu.

“Masih banyak ya, soalnya?” tanya Bagas setelah sekitar 45 menit Ayana berkutat dengan bukunya.

Ayana mengangguk tapi tak lama kemudian menggeleng. “Masih ada 2-3 soal lagi, sih.”

“Mau gue bantu?”

Ayana mendongak. Melihat cewek itu menatapnya, Bagas mendadak salah tingkah dan langsung memalingkan wajah. “Gue emang nggak sepinter elo, sih. Tapi, nilai Matematika gue juga nggak jeblok—maksudnya, nggak bagus-bagus banget juga, sih. Dan nggak jeblok-jeblok banget juga.”

Bagas menepuk dahi ketika merasa omongannya terkesan ngalor-ngidul banget. Gue ngomong apa, sih?! Nggak jelas banget! “Ya, pokoknya gitu, deh!”

Ayana tertawa. Sontak hal itu membuat Bagas menatapnya heran sekaligus malu. Pasti karena gue saking nggak jelasnya makanya dia sampai ngakak gitu.

“Ya udah,” Ayana memindahkan bukunya kemudian menaruhnya di hadapan Bagas. “Minta tolong, ya? Gue udah otak-atik nomor 3 dan 5 tapi masih belum ketemu-ketemu juga jawabannya.”

Bagas menarik sudut bibir. Ia merebut pensil dari tangan Ayana lalu mulai mengerjakan soal yang Ayana tunjukkan. Sementara cewek itu masih agak terkejut lantaran ketika Bagas merebut pensilnya, ujung jemari cowok itu tak sengaja tersentuh dengan jarinya. Mendadak, jantung Ayana jadi kambuh lagi.

“Udah selesai.”

Ayana mendelik. “Kok cepet?”

Sambil memeriksa jawaban Bagas, Ayana semakin terbelalak lebar. “Gini yang lo bilang nggak pinter-pinter banget?!”

Bagas mengusap tengkuk. Mendadak malu. “Belum tentu juga jawaban gue bener.”

“Tapi, gue yakin jawaban lo bener, sih.”

Bagas mendongak, dan kembali melihat Ayana tersenyum. “Thanks udah bantuin. Gue nggak tau lagi kalo nggak ada lo, paling kepala gue bakal mendadak botak karena kelamaan mikir. Hahah!”

“Ayana,” panggil Bagas yang membuat cewek itu langsung menoleh. “Gue udah pernah cerita ke lo belum, sih?”

Dahi Ayana berkerut, “Cerita apa?”

“Kayaknya gue mulai suka sama seseorang, deh.”

Gerakan pensil Ayana yang tadinya menari di atas kertas langsung terhenti begitu saja. Saat kembali mengangkat kepala, Ayana menemukan Bagas yang tengah menatapnya. Ayana tak mengerti maksud dari tatapan itu. Atau mungkin sebenarnya.... Ayana paham maksudnya. Hanya saja, ia tak mau berspekulasi dulu.

Hello, Bagas! ✔Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin