8 - How to Unheard?

Mulai dari awal
                                    

Rafka lagi-lagi mengangguk setuju. "Gue curi dengar obrolan elo, konsep lo bagus."

"Yang mana? Kamu cuma dengar diskusi interior bagian belakang."

"Yah, nggak hanya memberikan pelayanan VIP buat pelanggan, elo juga memperlakukan karyawan yang nantinya akan kerja sama elo juga dengan fasilitas VIP untuk mereka. Lo bener-bener harus seleksi orang yang bagus."

"Apa yang barusan itu pujian?"

"Hm? Sure, you can take it as a compliment."

"Aku hanya memanusiakan manusia, nggak lebih. Karyawan aku berhak mendapatkan fasilitas seperti fasilitas yang aku dapetin."

Rafka mengangguk.

"So, kita mau discuss di sini atau ke luar?"

"Ngopi gimana? Ini masih terlalu sore buat makan."

"Oke." Setelah semua kertasnya beres dan berada pada urutan yang pas, Evelyn beranjak dari kursi dan membawa kertasnya dalam sebuah map. "Kamu duluan aja, aku masih harus matiin lampu."

Rafka pun menurut tanpa banyak bicara dan memilih untuk menunggu di luar, sedangkan Evelyn mematikan lampu yang ada di sudut dalam sebelah kanan dan kiri. Ketika lampu-lampunya padam, ia dengan berhati-hati melangkah ke pintu yang menjadi sumber cahaya di ruangan itu sambil menyalakan senter di ponselnya.

Namun, sepertinya kehati-hatiannya tidak membuahkan hasil. Kakinya tersandung semen yang tak rata sehingga pergelangan kakinya tertekuk dan membuatnya terjerembab. Ponselnya bahkan terlempar dari tangannya, menimbulkan bunyi gemeletak keras.

"Ev? Lo nggak apa-apa?" tanya Rafka dari luar.

"Oke. Aku nggak pa-pa. Tunggu sebentar," ucap Evelyn masih bersimpuh di lantai.

Sialan, jeritnya dalam hati. Di antara semua hari, kenapa harus hari ini ia harus terjatuh? Evelyn memijit pergelangan kakinya yang terasa nyeri, memastikan kakinya masih baik-baik saja. Ia kemudian meraba lantai di sekitarnya, berusaha menemukan ponsel yang untung saja walaupun samar, masih memantulkan kilau cahaya dari pintu.

Evelyn membawa dirinya berdiri. Walaupun rasa sakit langsung menyerang kakinya, ia tetap memaksakan dirinya untuk berjalan. Tidak, ia tidak boleh terlihat lemah hari ini. Tidak di depan Rafka.

"Lo beneran nggak apa-apa?" tanya Rafka tak yakin setelah melihat Evelyn berjalan tertatih dalam kegelapan.

"Aku jatuh, gelap tadi. Tapi, nggak pa-pa, agak keseleo dikit," ucap Evelyn meyakinkan Rafka. Namun, Rafka mendekat dan menawarkan lengannya untuk dijadikan pegangan.

"Kalo sakit nggak usah bilang 'nggak pa-pa'."

"Yah, agak sakit. Sorry." Evelyn meringis menahan nyeri di kakinya.

"Gue heran sama perempuan. Kenapa sih suka menyiksa diri sendiri?" Rafka menunjuk high heels yang Evelyn kenakan dengan dagunya. "Elo begitu, Meta juga begitu."

Evelyn tertawa lirih mendengarnya. "Ini nyaman, kok. Gue nggak tersiksa pakainya. Gue yakin Meta juga begitu," ungkap Evelyn sambil menggembok pintu triplek yang dilapisi oleh banner bertuliskan 'The Eve'. "Cuma lagi sial aja, mungkin."

Ketika hendak berjalan, lagi-lagi Rafka menawarkan lengannya untuk Evelyn gandeng. Beberapa kali ia berkedip tak percaya dengan pemandangan di depannya ini. Dalam hati Evelyn menjerit heboh. Sial, jadi begini rasanya ada kupu-kupu yang berterbangan di perut. Ia bisa merasakan wajahnya memanas, bersusah payah menahan sudut-sudut bibirnya yang terangkat.

Evelyn meraih tangan Rafka dengan suka cita. Hmm ... sebenarnya lima puluh persen karena ia butuh pegangan, lima puluh persen lagi karena ia ingin saja. Ia terkekeh dalam hati. Rafka kemudian membimbingnya ke sebuah coffee shop di lantai dasar. Evelyn memintanya untuk mencari tempat duduk di bagian yang sedikit terhalang pandangan orang lain. Ia tidak ingin Rafka kembali mendapatkan masalah karenanya. Yah, walaupun jujur saja Evelyn sama sekali tidak keberatan akan hal itu. Malah berharap hal itu akan menjadi nyata.

How To End Our MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang