Chapter 7 (Pet) 🍃

49 18 5
                                    


Seberkas sinar hangat diam-diam menyelinap masuk melalui jendela tepat mengenai wajah Arga, membuat kulit kuning langsatnya terlihat glowing. Ia memalingkan badan, mencoba mencari posisi yang nyaman untuk kembali tidur, tapi sial bolak-balik mencari posisi nyaman tapi tetap saja cahaya itu selalu tepat mengenai matanya. Silau!

Merasa tidak punya pilihan lain, ia akhirnya menyerah dan bangun. Arga sedikit terkejut, seingatnya kemarin ia tidur di ruang makan. "Mungkinkah Bohr?"tanya Arga dalam hati. Dian dan Lean juga tertidur lelap di ranjangnya masing-masing.

Ia memutuskan untuk berjalan-jalan keluar kamar, mencari udara segar mungkin bagus. Sambil melihat benda-benda menarik apa saja yang akan ia temui.

Arga melangkah keluar dari kamar tanpa tahun akan pergi kemana. Ia hanya mengikuti kemana kakinya pergi. Melewati dapur yang tampak kosong, lalu berbelok entah ke arah mana. Sejauh ini tidak ada benda unik yang menarik perhatiannya. Semua yang mengherankan bagi Lean dan Dian tampak biasa saja dimata Arga.

Lalu, diujung jalan dia melihat Bohr yang sedang melakukan gerakan-gerakan aneh di tengah lapangan yang luas. "Ngapain sih Bohr? Joget lagi?" tanya Arga dalam hati. Karena penasaran, ia menghampiri Bohr.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Arga mengawali percakapan, menunjukan kebolehannya memahami bahasa Planet ini.

"Melatih beladiri Dahtuz milikku,"jawab Bohr.

"Apa itu?"tanya Arga semakin penasaran.

"Bagi hewan berbisa semua organ lawan adalah kelemahannya, tidak peduli menyerang di bagian manapun. Lawannya akan tetap mati keracunan."kata Bohr "Begitu juga beladiri ini, ia memaksimalkan energi racun hasil meditasi untuk melumpuhkan lawan."

Arga tiba-tiba bergidik ngeri, ia mundur beberapa langkah menjauhi Bohr.
"Jadi, apa semua penghuni Planet ini beracun?" tanya Arga.

"Hahahaha, tentu tidak. Dasar payah, tidak sembarang orang bisa dan boleh belajar menguasai beladiri ini. Penggunaannya juga tidak sembarangan,"

"Apa semua penghuni planet ini punya bakat mengendalikan angin?"

"Tentu saja, tapi kemampuan satu dengan yang lainnya juga berbeda. Sepertinya kau belum bertemu makhluk lain selain manusia-manusia aneh ini bukan?" tanya Bohr.

"Tentu saja."

"Ayo ikut aku!" ajak Bohr.

Arga mengekor Bohr dari belakang, sambil terus bertanya-tanya apa yang akan Bohr tunjukan padanya.

Hingga akhirnya, mereka sampai diujung lapangan. Terdapat sebuah bangunan berbentuk balok dengan dinding batu sungai yang bawahnya ditumbuhi semacam lumut-lumut hijau yang terlihat basah.

"Coba lihatlah ke dalam!" kata Bohr.

Arga perlahan lahan mendekati bangunan itu. Ia mengintip dibalik pintu yang berlubang.

Tiba-tiba matanya terbelalak, terkejut seakan tidak percaya dengan apa yang ada di depannya. Nafasnya menderu tak karuan. Dadanya seakan bergetar hebat. Ngeri sekaligus takjub bercampur menjadi satu. Rasa penasarannya tiba-tiba memuncak, memberi dorongan yang kuat untuk bertanya.

"Makhluk apa itu?"

"Mammuthus. Namanya Mon, hewan berbulu yang ganas dengan empat kaki dan sepasang sayap. Tenang saja, dia tidak akan mengganggu jika tidak diganggu," jelas Bohr. "Ehm, aku harus kembali. Kamu bisa disini dulu kalau mau, setelah itu ajak teman-temanmu sarapan."

"Baik," jawab Arga tanpa mengalihkan perhatiannya dari hewan itu.

Setelah berkata demikian, Bohr segera berlalu meninggalkan Arga dengan rasa penasarannya.

Arga berdiam diri di depan pintu sambil memandangi makhluk besar di dalamnya yang sedang tertidur pulas. Penasaran, sekeren apa hewan ini jika dilihat langsung tanpa penghalang. Tapi, sebelum ia melakukan tindakan, angan-angan itu ditepisnya jauh-jauh. Teringat kata-kata Bohr barusan. Bisa repot kalau berurusan dengan hewan ini.

Tiba-tiba hewan itu bergerak, posisi tidurnya berubah dan mendekatkan dirinya dengan pintu. BRUKKK!! tubuh besarnya menghantam pintu, lalu kembali terlelap. Arga yang ada di samping pintu terkejut hingga jatuh terduduk di depan pintu kandang.

Jantungnya memompa darah lebih cepat lagi, hingga ia bisa merasakan dan mendengar detak jantungnya sendiri. "mengerikan" gumamnya, lalu ia tersenyum. Entah apa yang terlintas di otaknya. Ia sebenarnya takut tapi juga penasaran. Dan sekarang rasa penasannya semakin menjadi-jadi. Menyingkirkan jauh-jauh rasa takut itu.

Ia membulatkan tekad dan memberanikan diri untuk mendekat. Ketika semakin dekat dengan pintu. Perlahan-lahan ia memasukan tangannya ke dalam lubang pintu. Pelan-pelan, ia mulai merasakan udara dingin, semakin lama semakin dingin seperti dibalut dengan kumpulan es batu.

Dingin. Tapi ia sudah membulatkan tekad! Perlahan-lahan tangannya mulai menyentuh helai demi helai bulu hewan itu. Sedikit-demi sedikit telapak tangannya mulai merasa hangat. "Luar biasaa"teriaknya dalam hati. Rasa penasarannya sedikit terobati.

"DUUAARRR!!" teriak Lean dan Dian bersamaan.

Arga terkejut bukan main, hingga ia jatuh terduduk di depan pintu untuk kedua kalinya.

"Hayohh ngapai.."kata-kata Lean terputus.

"NGRROOOOOO!!!!"

"BRUUKKK!!BRUKKK!!" sebuah hantaman keras mengenai dinding kandang.

Arga yang baru sadar langsung melihat tangannya. Segenggam bulu-bulu berwarna coklat menempel disana.

Arga langsung berseru, "Laaariiii!!Kaboorr!!"

Dian dan Lean yang tidak tahu apa-apa langsung lari mengikuti Arga yang sudah lari terbirit-birit.

"BRUKKK!!BRUKKK!!BRUAAAKKK!!"

Pintu berlubang itu tumbang, kandang terlihat mengaga tanpa penutup. Dan munculah sesosok hewan besar berbulu coklat setinggi 4 meter dengan belalai kekar dan gading panjang berbentuk melengkung ke dalam. Ia melangkah keluar dengan mantap.

Mengibas-ibaskan telinga lebarnya dan mengepak-ngepakkan sepasang sayapnya yang kokoh.
"NGROOOO!!" suara belalainya melengking, ia terlihat sangat marah.

Lalu berlari mengejar mereka bertiga sambil sesekali mengibaskan sayapnya. Setiap langkah kakinya membuat daerah di sekitarnya bergetar.

Arga, Dian dan Lean gemetar ketakutan bukan main. Tapi mereka harus memaksa kaki-kaki kecilnya berlari sekuat tenaga.

"Berpencarr!" teriak Arga memberi komando.

Mereka bertiga akhirnya berpencar untuk membuat hewan itu bingung dan terpaksa harus memilih mengejar salah satu. Mungkin akan ada yang jadi korban, tapi itu lebih baik daripada tidak ada yang selamat dari terjangan hewan berukuran 4 meter dengan berat 8 ton.

Tapi, ternyata hewan itu tetap mengejar ketigannya. Langkahnya yang panjang tidak kesulitan untuk menggiring mereka bertiga.

Mereka bertiga jadi seperti hewan ternak yang digiring menuju kandang. Celaka! Hewan itu sengaja memojokkan mereka. Kaki Dian gemetar dan ambruk, tak sanggup lagi berlari.

Arga dan Lean berusaha menariknya agar tetap berlari, hewan itu semakin mendekat dengan gadingnya yang menghadap kedepan siap menghabisi mereka.

Kali ini Dian benar-benar tidak sanggup lagi berlari, ia terjatuh lagi,  lututnya lemas. Nafasnya tak karuan, dadanya terasa sesak dan matanya berkunang-kunang. Hewan itu terlihat semakin bengis menghampiri mereka "Inikah akhir hidupku? Ayah, Ibu maafkan aku," kata Dian dalam hati.

"NGROOOO!!" hewan itu seolah berseru tanda kemenangan.

Ia tepat berada di depan Dian dan bersiap menginjak tubuh gadis itu. Tiba-tiba Lean menghadangnya sambil meletakan kedua tangannya di depan tubuh.

Tiba-tiba saja muncul angin kuat dan kencang yang seolah memukul tubuh hewan  itu.

"NGROOOO!" hewan itu terguling dan berlari meninggalkan meninggalkan mereka bertiga karena terkejut.

Tubuh Lean lemas, ia tak punya tenaga lagi. BRUKK! tubuhnya terjembab ke tanah.

The Wind Blows On The GlieseWhere stories live. Discover now