Chapter 1 (Liontin)🍃

179 69 28
                                    

Langit tampak muram sore itu, dipeluk awan-awan kelabu yang semakin lama tampak semakin tebal.

Daun dan ranting mulai bergoyang seolah mendapat komando. Lama kelamaan daun-daun lain enggan untuk diam. Semilir angin merengkuh aroma khas hujan yang membawa kesejukan, juga pelipur kerinduan bagi pohon-pohon yang telah lama merindu pada tiap tetes hujan.

Sebuah kerinduan yang tak tertahankan karena musim kemarau yang terlalu posesif dengan wilayah itu. Sebuah daerah yang cukup terpencil di ujung sebuah kota. Dengan ribuan pohon tua yang memagari, serta sungai yang mulai mengering menyisakan beberapa ikan mujair kurus yang tampak kurang asupan gizi.

Tepat berbatasan dengan sungai itu, tampak sebuah universitas tua yang berdiri kokoh dengan mempertahankan gaya arsitektur klasik kuno yang khas.

Lebih mirip seperti kastil tua mungkin. Temboknya terbuat dari batu berwarna coklat muda dan tua, tidak ada ukiran apapun di sana. Menara pandang terlihat menonjol dimana-mana dengan ujung atap yang tampak runcing. Beberapa menara berbentuk kubah juga tak kalah kuno, dengan atapnya berwarna abu-abu.

Setiap bangunan selalu dipenuhi dengan jendela-jendela yang tampak tak terlalu besar namun tinggi.
Di depan gedung lobi, lapangan hijau terhampar luas. Sebelum berbatasan dengan gerbang yang langsung mengarah ke jalan. Namun sekarang, kampus yang dikelilingi pohon-pohon itu tampak semakin sangar seperti kastil Hogwarts dalam film Harry Potter yang menyimpan misteri.

Di sebuah ruang kelas yang dingin, seorang paruh baya sedang serius menjelaskan sesuatu yang membuat hawa dingin AC tak lagi terasa.

Kumpulan otak-otak manusia di dalam ruang itu seolah terbakar dengan berbagai teorema yang menuntut kejelian analisa. Setelah kurang lebih 2 jam otak para mahasiswa itu dibakar, akhirnya lelaki paruh baya itu berkata

"Yah,waktunya habis. Ini ada beberapa soal yang bisa kalian kerjakan. Minggu depan dikumpulkan. Untuk tambahan tugas yang sudah saya upload di e-learning."

"Hufftt..mantapp," kata Lean sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Minggu ini tugasnya terbaeqq emang," sahut Dian.

"Eh, ngeri banget awanya. Kalo hujan duluan bahaya nih, kasian leptopku." Celetuk Lean sambil tetap melihat awan yang semakin menghitam.

"Iya sih, tapi stok mie ku abis. Kuyy, temenin aku beli dulu. Bentar kok, kan searah sama kos kita," bujuk Dian yang tampak memelas.

"Yaudah kuy buruan." jawab Lean sambil memasukan alat tulisnya.

Lalu mereka bergegas meninggalkan kampus sambil berlari-lari kecil. Melewati jalan-jalan paving yang sebelah kanan dan kirinya ditumbuhi pohon-pohon akasia.

Sesampainya di warung tujuan Dian berkata, "Loh kok tutup? Duh gimana nih?"

"Eh, tuh ada yang masih buka." kata Lean menunjuk salah satu warung di sebelah masjid. Lalu mereka bergegas ke sana.

"Bu, beliii," teriak Dian.

"Iiyaa." jawab seorang wanita dari arah dapur, lalu ia menghampiri mereka. Ia tampak muda meskipun ada beberapa guratan keriput di ujung matanya, mungkin sekitar umur 30-an.

"Beli apa nduk?" tanya ibu itu.

"Beli mie instan buk." jawab Dian sambil menyodorkan sejumlah uang.

The Wind Blows On The GlieseWhere stories live. Discover now