Chapter 4 ( Planet Gliese)🍃

56 27 8
                                    


Hembusan angin menerpa tubuh mereka bertiga, menyentuh telapak kaki, telapak tangan, tengkuk, lalu seolah menyelimuti tubuh. Terasa hangat, hingga membuat mereka bertiga enggan untuk bangun.

Lama kelamaan, hembusan angin itu mengangkat tubuh mereka. Membuat mereka bertiga melayang-layang di udara. Hembusan yang tadinya hangat, sekarang malah semakin panas seperti uap air yang mendidih.
“Huwaa panassss,” jerit mereka bertiga kompak.

Rasa mengantuk yang dari tadi bertahta, sekarang hilang entah kemana.

Lalu, tiba-tiba saja. BRRUUKKK. Tubuh mereka menghempas lantai. Hilang sudah hasrat untuk tidur. Padahal mata mereka baru saja terpejam beberapa jam yang lalu. Hasil dari semalaman berdebat dengan pikiran dan perasaan yang berkecamuk dalam benak masing-masing.

“Siapa kalian?” tanya seseorang.
Lean berusaha duduk dari posisinya yang telungkup akibat angin rese yang entah darimana asalnya. Ia berusaha mengendalikan dirinya dan menjawab setenang mungkin.
“Aku Lean, lalu ini teman-temanku Dian dan Arga.”

Lean menatap baik-baik orang itu, orang yang berbeda dari yang kemarin. Tubuhnya tinggi sekitar dua meter, rambutnya pendek separuh beruban, terlihat ada kerutan di dahinya, tatapan matanya terkesan teduh dan berwibawa, ia mengenakan jubah berkerah dengan kombinasi abu-abu dan perak. Sambil membawa tongkat aneh dari kayu, dengan pangkal tongkat melingkari sebuah berlian yang melayang-layang di tengahnya.

“Apa hubungan kalian dengan Mitch dan Nancy?”tanya seseorang itu lagi.

“Mitch dan Nancy? Siapa mereka?” tanya Lean pada Dian dan Arga.
Mereka bedua kompak menggeleng tidak tahu.

“Kami tidak tahu,” jawab Lean.

“Lalu, kenapa kalian bisa muncul di Padang Pago?”tanya orang itu lagi.

“Hah? Dimana itu?”tanya Lean kebingungan.

“Dari mana kalian berasal?”

“Dari Bumi,” jawab Lean ragu-ragu dia akan mengerti.

Mendengar itu ekspresinya berubah terkejut, lalu ia membisikan sesuatu pada seseorang yang ada di belakangnya. Tak lama mereka terlihat mengangguk seolah menyepakati sesuatu.

"Aku sudah menduganya, tapi tetap saja rasanya hampir tidak percaya kamu mengatakan itu. Kejadian itu sudah lama sekali," kata orang itu.

"Kejadian apa?" tanya Lean penasaran.

"Rencana menjarah bumi beberapa ribu tahun silam. Sudah lama sekali, mungkin generasi baru Planet ini sudah lupa,"

"Jadi, ini benar-benar bukan di bumi?"

"Tentu saja bukan. Aku ucapkan selamat datang di Planet Gliese. Planet dengan penduduknya yang memiliki kemampuan mengendalikan angin. Aku Meer, pemimpin planet ini. Dan ini Bohr, panglima perang planet ini. Kalian sudah bertemu dengannya kemarin. Aku harap kalian memaafkan perbuatanya kemarin. Dan kalian ke sini menggunakan liontin itu bukan?"

"Kami tidak tahu, mungkin begitu. Lalu, bagaimana caranya kami kembali?" tanya Lean sambil mengeluarkan liontin itu.

"Astaga, aku tidak percaya bisa melihat benda itu langsung. Jujur saja Lean, aku juga tidak tahu. Kejadian itu sudah lama sekali, bahkan banyak masyarakat yang menganggap itu hanya legenda," kata Meer "Tapi, kalian bisa tinggal dulu di sini sambil mencari tahu caranya. Tentu saja aku juga akan membantu."

"Terimakasih banyak Meer," kata Lean tersenyum sedikit lega. Dian dan Arga saling berpandangan, tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.

"Untuk sementara, kalian bisa tinggal bersama Bohr. Dia akan sangat membantu, kuharap kalian cepat akrab," kata Meer.

"Maafkan perbuatanku kemarin. Setelah ini kalian bisa tidur sesuka kalian," kata Bohr.

"Ehe terimakasih Bohr," kata Lean sambil tersenyum kecut, mereka bertiga sudah merasa segar bugar setelah dibanting tadi. "Tapi, kenapa aku bisa mengerti bahasa kalian?"

"Itulah istimewanya dirimu Lean, perlahan-lahan kamu akan mengerti," jawab Meer sambil tersenyum hangat.

***

Mereka bertiga pergi ke rumah Bohr dengan menggunakan kapsul berbentuk kepompong yang bisa terbang di udara, dengan baling-baling di empat sisinya seperti drone dan roda empat di bawahnya untuk memudahkan saat berada di jalan. Hanya orang-orang tertentu yang punya kapsul pribadi.
Sepanjang perjalanan, Dian dan Lean terkagum-kagum dengan perkembangan teknologi di Planet ini. Berbeda dengan Arga yang hanya melihat sekilas tanpa terlalu memperdulikan hal itu.

"Hmmhh, melihat tingkah mereka berdua sebentar lagi pasti aku bakal dihujani pertanyaan," keluh Arga dalam hati.

Tak lama kemudian, mereka tiba di rumah Bohr. Pintu bawah tanah langsung terbuka begitu kapsul Bohr terbang di atasnya. Ia mengemudikan kapsulnya langsung memasuki ruang basement dan memarkirnya disana.

Terlihat beberapa kapsul berjejer rapi di basement rumahnya, sepertinya ia suka mengoleksi kapsul.

Mereka dibawa ke salah satu ruang kamar dengan 3 ranjang di dalamnya.

"Kalian bisa istirahat di sini, kamar mandi ada di sebelah sana," kata Bohr.

"Terimakasih banyak Bohr," kata Lean mulai terlihat santai.

Tiba-tiba, pintu dibelakang Bohr terbuka. Muncul seorang anak perempuan dengan kuncir dua yang bergoyang-goyang saat ia berjalan. Tubuh mungilnya memeluk kaki Bohr.

"Papaa, kuda kudaaa," katanya sambil merengek manja.

Tangan Bohr mengangkat tubuh anak itu, lalu memeluknya dengan hangat. "Iyaa, sebentar ya,"

"Kudaaa!" rengek anak itu sambil memukul wajah Bohr dan menarik kumisnya. Bohr mengusap-usapkan kumisnya ke tubuh anak itu hingga membuatnya tertawa geli. "Ampunn,"

Lean,Dian dan Arga melongo melihat adegan itu. Lebih terkejut dari saat pertama kali mereka melihat Bohr. Tidak menyangka seseorang yang membanting mereka pagi ini ternyata bisa seperti itu.

The Wind Blows On The GlieseWhere stories live. Discover now