Chapter 2 ( Sebuah Awal)🍃

143 61 25
                                    

Matahari tampak bersahabat pagi ini, setelah puas bersembunyi dibalik tubuh awan karena hujan deras kemarin. Menyisakan bekas tetesan hujan di tanah yang semakin menambah kesejukan. Tetesan embun juga masih bertengger di daun dan rerumputan, terlihat berkilau terkena sinar matahari. Padahal sudah hampir siang, namun sinarnya masih hangat dan bersahabat.

Lean dan Dian kelaur dari pintu kos, disambut dengan cahaya matahari yang menerpa wajah dua gadis cantik itu. Angin sepoi-sepoi menyibak rambut keduanya. Mereka tampak senang seolah tanpa beban, terutama Lean. Ia merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan hari ini. Mereka berangkat ke kampus seperti biasa.

Sesampainya di ruang kuliah, masih terlihat beberapa mahasiswa yang fokus dengan tugasnya. Ada yang memasang wajah serius, seolah ini perkara hidup dan mati. Ada juga manusia rese yang tanpa rasa berdosa, dengan santainya memencet tombol power off di laptop mahasiswa yang dikejar deadline. Sontak saja ia mengeluarkan kata-kata mutiara yang powerfull.

"AS*, kau CK!!"

Manusia rese itu bukanya minta maaf atau merasa takut, ia malah tertawa terbahak-bahak sambil berkata "Makanya, ngerjain tugas tuh di kos. Kalo mepet gini aja rajin buka laptop."

"Bacott, Diem aja lahh gausah ikut campur," kata seseorang itu dengan nada ketus.

"Yaelah Ga, ngapain si nyari masalah sama orang pagi-pagi," kata Lean.

"Woyy anak kembar, tugas udah selesai? sini kumpul," kata Arga santai.

"Anak kembar? kembar dari mananya?" tanya Dian.

"Lah, kemana-mana bareng mulu sih kalian. Rambut sama-sama panjang dikuncir ekor kuda, tas sama sepatu juga kembar," jawab Arga.

"Terserah kamu lah Ga," jawab Lean sambil menyerahkan flashdisknya pada Arga.

"Nahh, kalo langsung ngupulin gini kan aku enak," kata Arga sambil mengecek file tugas.

Beberapa saat kemudian, setelah mengecek berulang kali Arga tidak menemukan file tugas yang dicarinya

" Oii neng, mana nih. Ga ada isinya nih flashdisk!"

" Seriuss? Gausah bercanda lah. Garing tau," kata Lean masih ngeyel

" Nihh, liat!"

Deghh... jantung Lean seakan berhenti berdetak sementara, lalu berdetak lebih cepat lagi dari biasanya. Memompa darahnya lebih cepat lagi ke seluruh tubuh. Matanya melotot seakan tak percaya dengan apa yang ada di layar laptop. Tidak ada file apapun disana. Kosong, seperti pikiranya saat itu. Nafasnya tak karuan, keringat dingin seakan mengalir dari tubuhnya. Ia shock. Berulang kali dicek juga tidak membuahkan hasil. Bolak balik cek antivirus mungkin kena hidden, tapi nyatanya nihil. Flashdisk itu memang kosong.

"Naniii?! Kok biisaa?" Lean semakin panik

"Mana aku tau," jawab Arga santai

Tiba-tiba, seseorang membuka pintu ruangan. Seorang bapak-bapak berusia 50-an, menggunakan kemeja rapi dan bercelana kain sambil menenteng tas memasuki ruangan.

Tapi entah kenapa, penampilan yang paling mudah dikenali adalah kumis lebatnya yang menonjol. Menjadi semacam ikon khas dibenak para mahasiswa. Beliau berjalan dengan santai ke arah podium di depan ruangan. Lalu, semuanya hening. Tidak ada yang berbicara walau sepatah kata pun.

" Mari kita lanjutkan ke materi berikutnya. Oiya, untuk tugas minggu lalu nanti ketua kelas langsung menyerahkan ke saya ya. Dan seperti biasa, tidak ada toleransi untuk keterlambatan." kata beliau sambil menatap ke arah Arga.

"Baik pak," jawab Arga.

Tubuh Lean seakan lemas mendengar percakapan barusan, tapi apalah daya. Nasi sudah menjadi bubur. Kini rasa penyesalan semakin merambat, menggantikan udara yang memenuhi paru-parunya hingga membuat dadanya sesak.

***

Setelah selesai mata kuliah, mereka bertiga nongkrong di cafe dekat kampus untuk meredakan stres. Walaupun sebenarnya hanya Lean yang terlihat tertekan.

" Udah Le, udah terlanjur juga. Yang penting next time jangan gitu lagi, " kata Dian.

" Iyaa iya. Nyusahin emang," jawab Lean sambil menghela nafas.

" Dari minggu kemarin aku dah bilang. Kerjain tugasnya, maraton drakor sama anime ntar aja. Susah si dibilangin."

" Tuhh bodoh, dengerin. Kalo gini aja, kamu yang susah kan," Arga ikut menimpali.

"Iyaa iya tau, semua gara-gara liontin itu. Padahal tadi sebelum berangkat tugasku beneran ada, dan udah selesai," kata Lean membela diri.

"Liontin apaan? Gausah ngeles lah, kalo emang salah tuh diakuin. "

"Iya aku salah. Nihh, katanya bisa bantu ngerjain tugasku. Emang bisa sih, tapi pas dikumpulin jadi ngga ada," kata Lean sambil menunjukan liontin itu.

" Ya berarti emang ngga bisa, bodoh. Mana ada ngerjain tugas pake liontin. Di dunia ini gaada yang instan. Kalaupun ada pasti gak maksimal hasilnya." Ledek Arga sambil melempar liontin itu ke atas beberapa kali lalu menangkapnya.

"Ihh, jangan digituin. Ntar rusak, siniii," kata Lean sambil berusaha merebut liontin itu dari Arga.

" Rusak? Biarin lah, barang ga guna juga."

Dian hanya menatap kedua sahabatnya itu berebut liontin. Sambil asik mengunyah kentang goreng rasa balado pedas kesukaanya. Selama tidak mengganggu kegiatanya, Dian tidak akan ikut campur dan asik menonton.

Mungkin kalau mereka berdua sudah kelewatan, Dian baru akan bereaksi. Ia sudah terbiasa menjadi penengah ketika mereka berdua ada masalah. Yah, sejauh ini keributan mereka berdua masih berada di taraf normal.

Arga berulang kali melemparkan liontin itu ke atas, Lean sambil meloncat berusaha menangkapnya. Tapi sia-sia, tubuh Lean lebih pendek dari Arga. Liontin itu kembali ke genggaman Arga tanpa kesulitan. Arga mengulangi gerakanya lagi, kali ini ia menangkap liontin itu dengan tangan kirinya. Berlanjut menangkap liontin itu dengan tangan kananya. Lean kesal sendiri, usahanya tidak membuahkan hasil sama sekali. Ia merasa dipermainkan oleh Arga.

Pada lemparan yang kesekian kalinya, Lean mendorong tubuh Arga hingga ia tidak dapat menangkap liontin itu. Lean berusaha menangkapnya, liontin itu jatuh menyentuh ujung jari. Sedikit lagi, tapi lolos dari genggamanya. Liotin itu terjatuh cukup keras ke lantai.

Tiba-tiba saja muncul seberkas cahaya yang cukup terang dari liontin itu, dan mengeluarkan pusaran angin yang menarik paksa mereka bertiga untuk masuk kedalamnya. Pusing, tubuh mereka terasa berdesakan mengikuti pusaran angin itu, bahkan untuk bernafas saja rasanya sangat sulit, pandangan mereka terbatas dan kabur.

Entah berapa lama mereka ada di dalam pusaran itu. Lama kelamaan pusaran itu mulai menghilang, hingga tidak terasa sama sekali. Setelah pusaran itu benar-benar hilang, mereka kembali bisa merasakan kaki mereka berpijak pada tanah. Walaupun masih menyisakan rasa pusing yang hebat.

Ditengah pandangan yang masih kabur, samar-samar terlihat pusaran angin yang lain datang kearah mereka.

Kodisi mereka yang masih payah, sangat tidak memungkinkan untuk banyak bergerak.

Duaaghhhh... sebuah hantaman yang keras mengenai tubuh mereka bertiga. Membuat ketiganya merasa seperti terbang. Terpental begitu jauh. Lalu bruukkk, tubuh mereka menghantam tanah.

Lemas, tiba-tiba pandangan menjadi gelap total. Hingga kesulitan dan hampir lupa bagaimana cara bernapas.

Bersambung.....

Jangan lupa tinggalkan vote ya! Biar authornya semangat ^_^

Makasihh...

The Wind Blows On The GlieseDonde viven las historias. Descúbrelo ahora