Chapter 3 (Welcome)🍃

95 46 6
                                    

Lean mengerjap-ngerjapkan kedua matanya, pandangannya masih kabur. Sorot lampu yang menyilaukan itu terasa sangat mengganggu. Ia berusaha agar tetap terjaga, perlahan-lahan ia mulai mengamati keadaan sekitarnya. Sebuah ruangan bernuansa hijau segar, beberapa tanaman bonsai di sudut ruangan tertata rapi dan indah. Yang entah itu asli atau imitasi.

Ada kaca lebar yang menempel di dinding sebelah kananya, lalu sebuah pintu berwana putih tepat di samping kaca. Ia sendirian di ruangan itu.

Lean berusaha bangkit dari posisinya yang telentang. "Argghhh..." pekiknya tertahan. Ia mengangkat kepalannya sedikit untuk melihat apa yang terjadi pada tubuhnya. Ada semacam borgol besi yang kuat yang membuat kedua lengan dan kakinya menempel di samping kanan dan kiri ranjang.

Lean tak bisa duduk, bahkan untuk bergerak saja terasa sulit. Ia melihat tangan kirinnya, ada selang infus menempel disana. Di tangan kanan Lean ada semacam jam digital. Entahlah, ia tak ingat memakai jam sebelumnnya. 

Ada yang terasa aneh di hidungnya, ia menggerak-gerakan mulut dan pipinya sambil berusaha melihat benda apa yang menempel di hidungnya.Setelah ia mengamati baik-baik, itu hanyalah selang oksigen untuk membantunya bernafas. 

Lean mencoba mengingat-ingat kejadian sebelumnya. Bagaimana mungkin dia bisa berada di sini? Rekaman kejadian terakhir kali yang ia ingat, ia berada di kafe dekat kampus bersama teman-temannya. Laluu? Kejadian liontin itu? Ahh, kepalannya mendadak pusing. Sakitt sekali. Apa yang telah terjadi? Dimana Dian dan Arga?

Lalu, ditengah-tengah kebingungan dan perasaan panik Lean. Seseorang berbadan tinggi hampir 3 meter masuk ke ruangan itu. Lean terkejut dan melongo sejadi jadinya. Seakan tak percaya dengan apa yang di depan matanya. Lean tak henti memandangi orang itu dari ujung kepala sampai ujung kaki berkali-kali.

Sesosok laki-laki besar dan gemuk berkulit putih, berambut panjang lurus dan lebat sebahu. Kumis dan berewoknya tumbuh hingga menutupi dada. Sorot matanya tajam dan tegas. Hidungnya mancung. Pakaianya terlihat aneh, sebuah rompi dengan kancing berwarna coklat seperti terbuat dari kulit sapi. Ditambah ikat pinggang berwarna coklat tua yang besar. Ia juga menggunakan jubah coklat berbulu tebal. Memakai celana panjang dan sepatu boots berwarna coklat, yang entahlah terbuat dari kulit hewan apa lagi itu.

Ia berjalan menuju ranjang Lean yang masih melongo bercampur keringat dingin melihatnya. Lalu setelah tepat di depan Lean, ia berhenti dan berkata sesuatu dalam bahasa yang tidak dipahami Lean.

"Whfur seid ihr?" tanya orang itu dengan intonasi tegas dan galak.

"Hah?" Lean masih melogo tidak mengerti. Pria itu mengulangi pertanyaanya lagi, dengan intonasi membentak, "WHFUR SEID IHR?"

Keringat dingin benar-benar mengucur deras dari pelipis dan kedua telapak tangan Lean sekarang, tiba-tiba kepalanya terasa berat dan sangat pusing seakan berputar-putar.

Pria itu benar-benar tidak peduli dengan apa yang Lean rasakan. Ia mengulangi pertanyaanya lagi dengan geram. "SIAPAA KALIANN?"

Tubuh Lean tersentak mendengar kalimat itu. "Aa..a.ku Lean dan dua or..ang temm..anku Diian dan Arr..ga." bibir Lean gemetar dan kerongkongannya seperti tercekat menjawab pertanyaannya.

Tapi, entah mengapa Lean bisa mengerti apa yang pria itu ucapkan, dan menjawabnya dalam bahasa yang sama.

"Hmmhh," dengus pria itu dengan kesal. Sepertinya ia tak puas dengan jawaban Lean.

Lalu pria itu melepas infus Lean, tangannya terlihat cekatan. Lean yang masih shock sedikit memberontak. Tapi tangan Lean segera ditahan dengan kuat oleh pria itu agar tidak terlalu banyak bergerak.

"Siapa orang ini? Dokter? Perawat?" tanya Lean dalam hati.

Setelah menyelesaikan masalah infus. Pria itu meletakan tangannya di atas borgol Lean tanpa menyentuhnya. Lalu seberkas cahaya hologram muncul, pria itu mengotak-atiknya sebentar dan menempelkan ibu jarinya di sana.

"Hmm, seperti membuka kunci layar hp dengan fingerprint?" tanya Lean dalam hati.

Dan benar saja, semua borgol yang menyiksa Lean terbuka. Ia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Lean segera turun dari tempat tidur, mengambil ancang-ancang lari untuk kabur.

Namun, saat kaki Lean menginjak lantai. Tiba-tiba sekujur tubuhnya tersengat listrik, kakinya terasa lemas dan tak berdaya menopang tubuh. Lean terduduk lemas tepat disamping ranjangnya.

Pria itu tertawa degan keras dan berkata, "Hahahaha, dasar bodoh!"

Kemudian, ia menghampiri Lean dan menarik paksa tangannya agar cepat berdiri. Lean yang kalah tenaga terpaksa mengikuti kemauan pria itu. Tulang-tulang tangannya seperti mau patah.

"Cepat jalan, keluar dari pintu itu!" perintahnya.

Lean hanya bisa menurut. Saat membuka pintu, alangkah terkejutnya Lean mendapati tubuh Dian yang terduduk lemas di lantai kehilangan tenaga. Tidak jauh dari posisi Dian, tubuh Arga tengkurap tak sadarkan diri.

"DIAN? Kamu ngga apa-apa?" tanya Lean sambil memeluk tubuh sahabatnya.

"Sakitt Le," jawab Dian lirih.

Mata Lean berkaca-kaca melihat kondisi mengenaskan kedua sahabatnya itu. Lebih sakit dari pusing yang ia rasakan sejak tadi.

"Cepat jalan! Lurus kearah pintu itu!" perintah pria itu lagi, sambil menunjuk sebuah pintu di ujung lorong.

"Ayo Di, jalan yuk. Aku bantu." kata Lean sambil meletakan tangan Dian di pundaknya, membantunya berdiri.

Dian sudah tidak punya tenaga untuk menjawab ataupun bertanya pada Lean. Tubuhnya benar-benar lemas. Pria itu mengikuti mereka berdua di belakang, sambil menggendong tubuh Arga dengan sebelah tangannya dan meletakannya di bahu.

Mereka melewati lorong yang cukup panjang. Sepanjang lorong terdapat lampu-lampu berbentuk bola yang menerangi. Namun anehnya, lampu itu tidak menempel di dinding seperti lampu kebanyakan, tapi melayang–layang di dekat dinding. Tak ada yang menahan dan tanpa bersentuhan dengan benda lain.

***

Pria itu ternyata bermaksud memindahkan ruangan mereka. Ruangan ini sedikit berdebu. Atap, dinding, bahkan lantainya berwarna putih. Tanpa ada hiasan atau pohon bonsai, kontras sekali dengan ruangan Lean sebelumnya. Hanya terdapat sebuah kaca yang lebar. Mirip seperti tempat introgasi di film-film yang kacanya dua arah. Mungkinkah begitu?

Perlahan-lahan, tenaga Dian sudah mulai kembali. Arga juga sudah sadar.

"Kita dimana? Kemana perginya raksasa aneh itu?" tanya Arga kebingungan.

"Entahlah Ga, memangnya jaman sekarang masih ada raksasa?" tanya Lean.

"Kamu masih berpikir kita ada di dunia tempat kita berasal hah?! Aku bener bener nggak ngerti dia ngomong apa,"

"Iya sama, aku dibentak-bentak dengan kalimat yang sama. Nggak ngerti sama sekali," kata Dian.

"Awalnya aku juga gitu, tapi lama-lama aku bisa ngerti sendiri. Terus sebelum pergi tadi dia bilang agar kita berhati-hati besok. Sama titip pesan buat kalian berdua, jangan berontak kalau masih mau hidup," kata Lean.

"Iihh, serem kali kayak tampangnya," ledek Arga.

"Terus sekarang kita harus gimana?" tanya Dian.

"Tidur, lihat aja gimana besok," kata Arga masih tetap santai.

"Gimana sih Ga? Gimana kalo kita mati besok? Masa mau pasrah gitu aja?!" kata Lean terbawa emosi.

"Heh, bodoh. Kau pikir dari tadi aku pingsan itu kenapa? Latihan drama? Hampir mati tersengat listrik aku gara-gara ini!" kata Arga ikut emosi sambil menunjukan benda yang melingkar di tangannya itu, benda yang sama dengan yang melingkar di tangan Dian dan Lean. "Kita udah nggak bisa kabur dengan cara yang sama, apalagi si raksasa ngancem gitu. Aku rasa itu bukan ancaman yang main-main," sambung Arga lagi.

"Hmm, ada benernya juga kamu Ga," kata Dian dengan pasrah.

Kini, mereka bertiga sibuk mencari posisi tidur masing-masing. Berusaha memejamkan mata ditengah badai pikiran yang berkecamuk menanti jawaban yang memuaskan. Dimana mereka? Siapa pria itu? Kenapa hanya Lean yang bisa mengerti bahasanya? Apa yang akan terjadi besok?

Entahlah, mereka hanya ingin tidur kali ini. Fisik dan pikiran mereka terlalu lelah untuk memikirkan keadaan.

The Wind Blows On The GlieseWhere stories live. Discover now