58 | definisi tertangkap basah

195K 22.9K 1.6K
                                    




58 | definisi tertangkap basah



SELESAI workshop, Timothy dan Sabrina mampir ke kantor, untuk alasan yang berbeda.

Karena sudah terlalu sore, Timothy hanya menyimpan barang-barangnya di bawah mejanya seperti biasa, untuk dirapikan besok pagi.

Sementara Sabrina yang hanya membawa sebuat tas jinjing, hanya celingukan di ruang tamu.

Kantor sudah sepi.

Bahkan mobil Zane sudah tidak nampak di halaman. Dan di lantai satu hanya ada Karen di balik front desk, sedang beres-beres, bersiap pulang.

"Girls night out, kuy?" Timothy tiba-tiba mengutarakan ide.

Sabrina dan Karen langsung menoleh.

Sabrina membiarkan Karen menyahut duluan, karena sejujurnya dia sedang tidak ingin ke mana-mana.

"Sore ini Juned minta temenin gue belanja, sama bantuin dia packing." Karen manyun.

Timothy mendengus. "Elo, Sab?"

Sabrina menggeleng pelan. "Skip dulu, deh. Duit nipis. Pulamg dari Sydney aja kita nongki-nongkinya."

Timothy menghela napas pelan, dan tak lama kemudian langsung pamit.

Sabrina langsung beraksi.

"Sepi amat, udah pada pulang?" tanya perempuan itu ke Karen, berusaha terdengar senormal mungkin, tanpa maksud terselubung.

"Hmm." Karen hanya menggumam singkat.

Sabrina mendesah pelan, berusaha tidak nampak kecewa.

Padahal tadi dia sudah susah payah kembali ke kantor secepatnya agar sempat bertemu Zane. Kalau bisa pulang bersama. Eh, nasib baik tidak berpihak padanya.

"Tinggal si Gusti ama Bang Zane doang." Karen melanjutkan, dan sialnya Sabrina merasa temannya itu tetap bisa membaca maksud pertanyaan basa-basinya tadi.

Sabrina meringis. Berusaha tidak terlihat semringah. "Lah, Bang Zane masih ada? Tapi mobilnya ...."

"Lagi dipake Mbak Iis."

"Ooh." Sabrina manggut-manggut, kemudian segera beringsut ke tangga saat Karen sedang tidak memperhatikannya. Naik diam-diam.

Gusti sibuk di balik mejanya di lantai dua.

Sabrina langsung naik lagi setelah menyapanya.

Tapi ternyata Zane malah tidak ada di ruangannya.

Sabrina mengeluarkan ponsel.

Meneleponnya.

Tak lama terdengar bunyi getar di mejanya.

Sabrina menghela napas lega.

Nggak sia-sia usahanya.

"Baru dateng?"

Sabrina menoleh, mesem.

Zane berdiri di depan pintu, dengan secangkir kopi di tangan.

Lelaki itu baru kembali dari pantry. Dan sudah pasti dia tadi mendengar suara Sabrina saat mengobrol di ruang tamu.

"Hmm." Sabrina mengangguk. Semringah.

Zane berjalan mendekat, tanpa menutup pintu.

"Kenapa lo senyam-senyum gitu?"

Sabrina menggeleng, mengeluarkan sesuatu dari dompetnya, meletakkannya di meja.

"Gue balikin kartu lo. Tengkyu."

Zane mencecap kopinya. "Lah? Pake aja dulu. Gajian kan masih lama."

Mata Sabrina kontan membulat.

Dia tahu Zane bucin. Tapi ngasih pinjem kartu kredit tuh ... hmm ... a little too much nggak, sih? Apalagi belum ada hubungan yang jelas di antara mereka berdua?

"Serius boleh gue pakek sampe gajian?"

"Iya, nanti tinggal potong gaji lo."

Sabrina melengos.

Udah melayang tinggi, eh, dihempaskan gitu aja. Emang dasar cowok semprul.

Sabrina melihat Zane mencecap kopinya lagi.

"Lo masih lama, Bang?" tanyanya kemudian, meletakkan tas yang sedari tadi dijinjingnya ke meja Zane yang berantakan seperti biasa.

"Enggak. Nunggu Gusti doang."

"Pulang sama gue aja. Gue anter."

Zane menahan tawa. "Bucin amat, Neng."

Sabrina mendengus. Tapi—khusus di depan Zane—memang sedari awal dia tidak berniat jaim. Biar saja dibilamg bucin. Yang ngatain toh malah lebih bucin lagi.

Perempuan itu maju selangkah. Mengulurkan sepasang tangannya ke pinggang sang Bos. Memeluknya.

Zane diam saja.

Tapi Sabrina sudah kebal. Pelukan tidak dibalas masih tidak ada apa-apanya dibanding ciuman tidak dibalas tempo hari.

"Gantian. Biar bukan lo doang yang bucin."

Zane cuma terkekeh pelan. Dan selanjutnya Sabrina mendengarnya mencecap kopinya lagi.

"Hari ini kliennya rada kampret." Sabrina curhat. "Udah kita siapin semuanya, udah rapi banget, masih aja nggak ngerti-ngerti. Ditinggal meleng dikit, bubrah semua."

"Ya udah, buruan pulang, order makan, terus istirahat." Zane menanggapi sok bijak.

"Elo serius nggak mau gue anter?"

"Nggak enak sama Gusti."

"Emang pada janjian mau ke mana?"

"Nggak ke mana-mana."

"Ya udah, bilang aja nggak jadi nebeng. Kan apartemen lo lebih deket sama rumah gue dibanding rumah dia."

Zane diam.

"Ayo, pulang sekarang sama gue aja." Sabrina terus mendesak. Tidak mau pulang dengan tangan hampa.

"Hmm. Gue abisin kopi dulu."

Sabrina menjauhkan wajahnya, mendongak.

Mesem.

Pesona dirinya emang susah untuk ditolak, kan?

"Mau?" Zane malah menawarkan kopinya disaat Sabrina inginnya dipeluk balik.

"Kagak. Nanti nggak bisa tidur lagi."

"Ya udah."

Zane mencecap dengan khidmat.

Sabrina memperhatikan bibirnya yang jadi terlihat basah, dan jakunnya yang naik turun saat meneguk kopi.

Menggoda untuk dicium, tapi tidak boleh.

Jangan sampai dia nyosor duluan dua kali! Dan ditolak dua kali pula!

"Bro, balik sekarang?"

Tiba-tiba suara Gusti terdengar di luar, dan langsung muncul di ambang pintu sepersekian detik kemudian.

Zane dan Sabrina panik karena tertangkap basah.

Karena Zane buru-buru melepaskan diri, kopinya jadi menumpahi sisi depan tubuh Sabrina. Langsung membentuk warna kecokelatan di kemejanya yang putih.

Kontan Sabrina memekik kesakitan.



... to be continued

Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Where stories live. Discover now