Bab 30

633 118 9
                                    

"Dokter Tyo baru saja selesai koas dua hari yang lalu. Dia sudah tidak menjalani koas di rumah sakit ini. Apakah anda benar-benar temannya?"

Kalimat wanita itu masih terngiang di kepala Ical. Kalau koas Tyo sudah selesai, kenapa dia tak ada di rumah? Jelas-jelas ibu paruh baya itu bilang pemuda itu jarang pulang. Lalu kenapa pula dia menemui Andin? Apakah gara-gara berita koasnya selesai? Tapi kalau hanya karena itu kenapa juga gadis itu menangis. Menyelesaikan koas bukan hal yang menyedihkan. Sebenarnya Tyo kenapa?

Ical berbaring gelisah di ranjang kosannya yang sempit. Ponsel yang ada di tangan dia putar-putar tanpa minat.

Sekarang sudah jam 11 malam, namun belum juga ada kabar dari Andin. Satya yang tadi berjanji akan membujuk Andin untuk bicara juga belum mengubungi. Apalagi Tyo. Pemuda itu benar-benar hilang. Pesan yang dikirim Ical masih bertanda centang satu. Mungkinkah Tyo sengaja kabur setelah membuat Andin menangis?

Satu-satunya hal masuk akal yang membuat Andin menangis adalah Tyo menyatakan perasaannya. Dari dulu, sejak awal mendekati Andin, Ical sadar kalau Tyo menempatkan dirinya lebih dari kakak. Dia bisa merasakannya dengan jelas. Karena itulah dia membeirtahu Tyo kalau dia punya rasa pada Andin. Nyatanya Tyo tidak bertindak apa-apa. Jadi, seharusnya hubungan Andin dan Ical bisa berjalan dengan lancar.

Ical menghela nafas berat. Dia kembali mengecek ponsel. Masih sama. Kenapa harus mendekati hari pernikahan juga. Tinggal beberapa minggu lagi dia akan menikah, tapi malah keadaan menjadi seperti ini.

*

Ical bangun tersentak karena getaran ponsel yang semalam dia letakan disamping bantal. Dia menggosok-gosok mata kasar lalu menempelkan ponsel ke telinga kiri.

"Andin udah nggak papa."terdengar suara serak Satya, tanpa basa-basi.

"Yang bener Bang? Dia kenapa katanya?"

"Tanya sendiri."

Dahi Ical berkerut. Gimana sih ini orang? "Memangnya dia udah mau cerita Bang?"Ical mencoba sabar.

Tedenngar helaan nafas berat Satya. "Ya lu coba sendiri aja mau cerita apa enggak."

Ical menipiskan bibir menahan umpatan. Ingin sekali dia maki-maki si lelaki pucat itu dari tadi. "Yaudah Bang gue kesitu sekarang." Dia sudah berdiri, siap mengambil hoodi nanmun Satya menghentikannya.

"Bentar."katanya penuh penekanan.

Alis Ical terangkat. Hening. Sepertinya Satya pergi dulu entah kemana.

Ical menunggu sambil mondar-mandir di dalam kamarnya yang sempit.

"Kata Andin jangan dulu. Ntar kalau dia mau ngomong lu kesini."

"Tuh kan. Nggak bisa abang aja yang cerita ke gue?"

"Ck. Lu tanya sama dia aja lah. Gue nggak mau jadi lambe turah. Udah. Sante aja adik gue nggak kenapa-kenapa."

Ical membuka mulut, namun telfon ditutup secara sepihak oleh Satya.

*

Satu hari, dua hari, hingga tiga hari berlalu dengan lambat. Menurut Ical, keadaan hanya berubah sedikit. Pesan yang di kirim Ical untuk Tyo sudah berubah menjadi centang dua, tapi tak juga dibalas. Satya tetap bungkam tak mau bercerita apa yang terjadi pada adiknya. Katanya dia paling anti ngegosip. Sementara Andin, untungnya gadis itu sudah bisa ditemui meski masih tak mau bercerita. Kemarin saat Ical makan malam di rumah Andin, gadis itu terlihat biasa saja, atau lebih tepatnya berpura-pura biasa saja.

Dimata Ical, ekspresi wajah Andin sangat transparan. Mudah sekali moodnya ditebak. Hanya dari raut wajah, sudah tampak dia menyembunyikan sesuatu, seperti sebuah rasa bersalah.

JanjiWo Geschichten leben. Entdecke jetzt