Bab 23

636 117 11
                                    

"Cal kita yakin nih nggak mau balik aja?"tanya Andin pelan. Setelah berputar-putar di swalayan, Ical mengajak Andin untuk pindah alun-alun kota. Di alun-alun mereka duduk di area penjual makanan. Di meja yang keduanya tempati sudah ada dua gelas es kelapa muda dan sepiring pisang goring yang kini tinggal dua buah.

"Hm?"Ical yang sibuk memakan pisang gorng mengangkat wajahnya. "Bentar.Aku tanya Ibu dulu Liana udah pulang apa belum."dia mengelap tangan dengan tissue lalu merogoh saku celana lalu mengeluarkan ponsel.

Andin menatap Ical yang sibuk dengan ponselnya. Gadis itu menggigiti sedotan lalu menyesap cairan putih manis itu perlahan. "Nggak papa kok Cal kalau masih ada dia. Soalnya aku nggak enak sama Ibu kamu."

Ical meletakkan ponsel di atas meja, lalu menopang dagu. Dia tersenyum lembut. "Kenapa kamu ngerasa nggak enak?"

"Kan aku bertamu ke rumah kamu, tapi malah pergi dan nggak balik-balik."

Mendengar keluh kesah Andin, senyum Ical melebar memperlihatkan gigi kelincinya yang khas. "Nggak papa kok. Ibu yang minta kita keluar."

"Tapi tetep aja kesanya aku nggak suka ada dirumah kamu."Andin menghela nafas panjang..

"Aku yang sebenernya kepengen kabur kok."Ical meyakinkan. "Memang aku nggak mau kamu terintimidasi sama Liana tapi aku lebih nggak nyaman karena ada dia."

Gadis itu menggigit bibir bawahnya lalu tersenyum tipis "Padahal aku udah nggak papa."gumamnya pelan.

Tangan Ical terjulur mengusap pucak rambut gadisnya gemas. "Kenapa kamu khawtairan banget sih. Jadi gemes."

Andin menepis tangan Ical, membuat lelaki itu terkekeh.

Ical melahap pisang goring terakhir lalu mengunyangnya cepat. "Kalau kamu maunya gitu, yaudah kuy balik."

Andin tersenyum lebar. "Bentar aku abisin ini dulu."dia meminum es kelapanya banyak-banyak.

*

Dari parkiran alun-alun, Ical sengaja menjalankan motornya perlahan. Kedua tangan Andin yang melingkar di pinggangnya, serta kepala gadis itu yang bersandar di punggung membuat bibir Ical tak berhenti menerbitkan tersenyum. Sesekali dia mengusap punggung tangan Andin, menggenggamnya erat sebelum di protes gadis itu.

'Fokus nyetir aja.'ujarnya galak.

Rasanya Ical ingin membekukan waktu. Dia mau begini terus. Bekendara berdua menikmati angin yang membelai kulit, dan tentu saja sentuhan gadis itu yang masih terkesan malu-malu.

Sayangnya, gerbang rumah Ical mulai kelihatan dari jauh. Dengan berat hati pemuda itu memasuki area halaman, memarkirkan motornya di depan garasi.

Andin meluncur dari boncengannya dengan anggun. "Udah pergi."

Ical turun dari motor lalu melihat sekeliling. Motor Liana sudah tak ada. "Untung deh Yang."pemuda itu berjalan memasuki rumah dan Andin mengikuti di belakangnya.

Di ruang tamu Ayah dan Ibu sedang duduk berhadapan sambil berbincang.

"Assalamualaikum."sapa Ical dan Andin bersamaan.

"Waalaikumsalam."

Andin duduk di samping ibu Ical sepentara Ical di samping ayahnya.

"Jalan-jalan kemana aja tadi?"Ayah menyambut hangat.

"Cuma ke swalayan sama alun-alun kok Yah."jawab Ical.

"Duh... Maaf Ya Ndin,,"ujar ibu pelan.

"Eh... Kenapa bu?"Andin yang sudah merasa tak enak hati sejak tadi menjadi panik.

JanjiWhere stories live. Discover now