Bab 19

562 109 7
                                    

Ical berniat pulang ke rumah pada akhir pekan ini membawa Andin ikut serta. Fakta bahwa gadis itu bersedia ikut memang agak menakjubkan. Waktu pertama kali Ical mengusulkan ide itu, Andin menolak tegas.

"Kan kita belum nikah. Nggak enak."

Untungnya pemuda berumur 25 tahun itu tak kehabisan akal. Dia beralih meminta Ibu yang membujuk. Sesuai dugaannya, setelah dibujuk calon ibu mertua lewat telefon, Andin tak bisa menolak.

Jum'at malam akhirnya tiba. Selepas pulang dari kantor Ical, Ical mampir dulu ke kosan. Dia bergegas mandi, berganti baju lalu menyiapkan barang bawaan. Tak banyak barang yang harus dia bawa. Hanya ponsel, dompet dan selembar kaus. Dia memasukkan semua barang itu ke dalam tas punggung kanvas, lalu berangkat ke rumah Andin dengan ojek online. Rencananya, mereka berniat berangkat malam itu dengan kereta tengah malam agar besok pagi sudah sampai di rumah Ical.

Begitu sampai di rumah Andin, Ical baru menyadari ternyata gadisnya gugup bukan main. Wajahnya terlihat pucat dan gadis itu tak henti menggosokkan kedua tangan.

"Udah siap semua?"Ical duduk di samping Andin. Dia meraih tangan gadis itu. Rasanya dingin. Ical menggosok tangannya ke tangan mungil itu untuk menaikkan suhunya.

Andin mengangguk kecil. "Ini beneran ibu kamu nggak papa?"

Pemuda bergigi kelinci itu tak bisa menahan senyum. "Ya nggak papa lah, kan ibu yang minta. Ayah juga seneng kok. Katanya pengen kenal dulu sebelum minggu depan ke rumahmu."

"Nggak papa kan kalau nggak nginep?"Andin kembali memastikan. Sungguh gadis itu tak enak hati. Karena dia ikut pergi, Ical jadi tak bisa tinggal di rumah lebih lama.

Ical mengusap pucuk rambut gadisnya lembut. "Iya nggak papa. Besok malam kita pulang. Aku udah bilang Ibu dan Ibu juga setuju kok."

"Mau berangkat jam berapa ntar?"Satya muncul dari dapur membawa tiga kaleng jus jeruk yang dia peluk.

Ical melepas genggaman tangan dan menggeser posisi duduknya agak menjauh. "Dari sini jam setengah sebelas kayaknya Bang."

Satya mengenyakkan diri di sofa depan Ical. Diletakkannya ketiga kaleng itu diatas meja lalu mendekatkan satu kaleng ke arah Ical. "Jangan macem-macem."katanya dengan suara berat mengintimidasi.

Ical menelan ludah gugup. Semenjak insiden dia memeluk Andin di depan Satya dan Pandu, kakak kedua Andin itu makin menyeramkan dan sangat protektif.

"Nanti abang yang anter?"

"Iya."Satya membuka kaleng jus miliknya, menenggaknya banyak-banyak. "Daripada pake taksi online. Ntar malah nggak dapet."

"Pake apaan? Emang ada mobil?"

Satya mengeluarkan kunci mobil dari saku celana, melemparnya agak tinggi lalu dia tangkap.

Andin memajukan bibir. "Mobil Tyo ya? Tyo kemana sih Bang? Nitip kunci mobil kok aku nggak tau?"

"Salah lu tadi siang nggak dirumah."

Melihat wajah Andin yang masih masam Satya menambahkan. "Nape? Kangen? Biasanya aja berantem." Satya terkekeh.

"Udah lama banget dia nggak main. Masa rumah sebelahan tapi cuma bisa telfon doang"keluh Andin.

"Nggak sah ditelfon, sibuk anaknya"Satya mengibaskan tangan.

"Tapi kemaren aku telfon nggak papa tuh."Andin tak terima.

Satya mengangkat bahu. "Tauk. Dia sih cerita kalau tidurnya sebentar doang sekarang."

Mendengar pembicaraan tentang Tyo membuat Ical terdiam. Dia tak berani berkomentar. Mungkin saja Tyo tak muncul lagi karena apa yang sedang dia fikirkan sekarang.

JanjiΌπου ζουν οι ιστορίες. Ανακάλυψε τώρα