Bab 9

505 113 9
                                    

Ical melihat gadis itu duduk di kursi yang menghadap pintu masuk. Di atas mejanya ada sebuah laptop terbuka dan segelas ice cocholate yang tinggal separuh. Andin mengenakan kacamata persegi dan menatap fokus layar laptop di depannya.

Ical mengeser pintu masuk café, menimbulkan bunyi berderit pelan. Dia berjalan ke arah meja itu, lalu menarik kursi dan duduk dihadapan gadis berambut sebahu yang kini menatapnya dengan wajah datar.

"Hm... udah lama Ndin?"Ical tersenyum canggung.

Andin mengangguk-angguk kecil lalu kembali fokus dengan laptop di depannya. "Hm... nggak gitu lama sih."

"Harusnya aku jemput ke rumah kamu aja."ujar Ical lirih. Tadi waktu mereka chating Andin menolak usul itu karena dia bilang akan ke café ini dengan menebeng Tyo. Kebetulan rumah sakit Tyo ada di dekat situ.

Tak ada tanggapan dari Andin, Ical beralih membungkuk membuka tasnya lalu menarik tas kotak bekal dan menaruhnya diatas meja. Dia mendorong tas itu ke dekat Andin, membuat gadis mungil menatapnya sekilas.

"Makasih ya Ndin,,"katanya lembut. "Dan maaf aku banyak salah sama kamu."

"Kamu udah bilang makasih tadi."Andin mengambil tas bekal lalu menaruhnya di lantai, dekat kaki kursi. "Maaf juga.Banyak."katanya datar.

Ical meringis. "Hehe..."

Andin menghela nafas panjang. Sebenarnya gadis itu bingung harus mengatakan apa. Akhrinya dia menutup laptop dan menatap Ical dingin. "Kemarin Bang Pandu main ke rumah. Dia bangga katanya. Abang kira aku yang bikinin kamu bekal setiap hari."

"Hm... itu..."Ical tergagap. Entah kenapa situasi ini mengingatkannya seperti sidang skripsi. Andin tak terlihat marah tapi Ical justru diintimidasi oleh ketenangan gadis itu.

"Jadi siapa?'

"Liana. Temenku waktu kecil, baru ketemu lagi gara-gara orag tuanya pindah satu kota sama ibuku. Aku disuruh nganter kotak isi sari apel terus habis itu dia jadi nganter bekal tiap siang. Aku udah larang tapi dia gitu terus Ndin."Jelas Ical cepat tanpa jada. Dia membuat V dengan jarinya. "Sumpah."

Andin mengengus. "Kamu bilang apa emangnya?"

Ical menceritakan alasan-alasan yang dia berikan pada Liana. Semuanya.

Ekspresi Andin berubah-ubah saat mendengarkan cerita Ical. Awalnya biasa saja, lalu mengerutkan dahi dan di akhir dia menganga tak percaya. "Dia tahu soal aku?"

Ical terdiam. "Hm.... Sepertinya. Tahu..."

Wajah Andin terlihat lelah. "Tadi kamu makan bekal punya Liana juga?"

"Aku kasih Indra. Akhir-akhir ini aku nggak makan kok. Selalu kasih si Indra."Ical memasang wajah sungguh-sungguh.

Andin berdiri tiba-tiba, menyampirkan tasnya di bahu.

"Eh kemana?"Ical ikut berdiri.

"Mau pulang."kata Andin sambil berjalan.

"Biar aku anter"Ical mengejar dan berjalan disamping Andin.

"Nggak usah Cal."

"Nggak papa. Aku anter."Ical bersikeras.

Andin terpaksa mengalah.

*

Ical sampai di kosanya tepat jam sepuluh malam. Dia lelah sekali, apalagi karena Andin tetap dingin bahkan sampai dia pamit pulang. Permintaan maafnya memang diterima, tapi gadis itu masih terlihat marah.

JanjiWo Geschichten leben. Entdecke jetzt