Bab 21

566 114 8
                                    

Cangkir-cangkir teh sudah kosong. Manusia di ruang makan mulai pergi satu persatu. Ayah pergi ke kamarnya untuk tidur lagi sementara Ibu tak berhenti bolak-balik ke dapur karena sedang merebus sesuatu. Hanya tinggal Ical dan Andin yang duduk di ruang makan, menatap cangkir kosong mereka masing-masing. Ical terlihat sangat lelah dan sesekali menguap lebar.

"Andin istirahat dulu aja."Ibu keluar dari dapur. "Di kamar yang itu ya, sudah ibu beresin."

"Nggak papa Tante nanti aja."tolak Andin tak enak.

"Eh, nggak papa. Ical juga tidur lagi. Masih ngantuk gitu kamu cal."katanya sebelum kembali ke dapur.

Ical mengangguk patuh. Agak terkantuk-kantuk dia berdiri, mengusap sekilas pucuk kepala Andin lalu berjalan ke arah tangga menuju lantai dua.

Tak punya teman lagi di tempat itu Andin membereskan meja makan lalu membawa cangkir kosong ke wastafel dapur. Di dapur Ibu masih sibuk mengaduk rebusan di panci kecil.

"Masak apa Tan?"tanya Andin basa-basi.

Ibu terlonjak kaget. "Aduh kaget Ibu. Kirain nak Andin udah tidur."

"Maaf Tan."Andin menjadi merasa bersalah. Gadis itu menyalakan air di wastafel. "Saya mau cuci ini dulu baru istirahat."

"Aduh nggak usah Ndin. Dingin kan airnya."

"Nggak papa kok Tan, sudah biasa."

Ibu mematikan kompor kare rebusannya sudah masak. Beliau mendekat lalu membantu Andin meletakan cangkir yang sudah di bilas ke dalam rak.

"Makasih ya Ndin,"Ibu menggandeng tangan Andin, mengantarkan gadis itu ke sebuah kamar yang tadi beliau tunjuk untuk istirahat.

"Terima kasih kenapa bu?"tanya Andin bingung.

Ibu tersenyum tulus."Karena mau datang kesini, dan mau sama Ical."

Pipi Andin terasa hangat. Baru pertama kali dia mendengar permintaan terima kasih untuk hal seperti ini.

"Ical itu nggak pernah pacaran. Ayahnya keras. Waktu sekolah dia cuman tahu belajar. Untung pas SMA ketemu Andin ya. Ical akhirnya jadi tahu rasanya jatuh cinta."

"Ah.. Iya Tan."Andin menunduk malu, tak tahu harus merespon apa. Dia tak tahu kalau Ical juga menceritakan kisahnya waktu SMA dengan sang ibu.

Ibu membuka pintu kamar, mempersilahkan Andin masuk. "Nah sekarang istirahat dulu. Nanti kalau waktunya sarapan Ibu panggilin."

"Terima kasih Tante,"Andin menganggukkan keplanya. Pintu tertutup dan kini gadis itu sendirian di dalam kamar.

Andin masih tak percaya dengan apa yang dia lakukan saat ini.

Sekali dilihat dia tahu ada di kamar siapa. Kamar ini jelas milik Ical. Luasnya hampir sama dengan kamar Andin namun terlihat lebih luas. Mungkin karena tak banyak perabot disana. Hanya ada sebuah ranjang, meja belajar dan lemari baju. Semuanya didominasi warna hitam dan putih. Sebuah potret Ical dengan bingkai kayu tergantung di dinding.

Gadis itu meletakkan tasnya di lantai lalu membaringkan diri di atas ranjang. Dia menutup diri dengan bed cover hitam yang hangat.

Membayangkan tempat itu digunakan Ical untuk tidur membuat Andin tersenyum malu.

*

'Tok tok tok'

Andin yang sama sekali tak bisa tidur membuka pintu kamar. Dia kira ibu yang mengetuk pintu, tapi ternyata Ical yang berdiri di sana. Pemuda itu baru saja selesai mandi karena harum sabun menguar dari tubuhnya. Rambut Ical masih basah.

Andin menerjapkan mata melihat pemandangan ini. Bukan pertama kali dia melihat Ical sehabis mandi. Tapi anehnya, jantung gadis itu berdetak kencang.

"Ayok sarapan."kata Ical riang.

Andin mengikuti langskah Ical ke ruang makan. Di ruang makan, Ibu sedang menata meja. Andin segera membantu menatap piring dan gelas.

"Makasih lho calon mantu."Ibu mengerling jenaka.

Gadis itu tersenyum malu.

Begitu meja telah selesai ditata, Ayah dan Arman muncul lalu duduk di tempat masing-masing. Semua orang baru mulai makan setelah ayah dan ibu Ical menyendok makanan.

Andin menguyah makanannya pelan-pelan. Suasana sarapan itu hening tak seperti di rumahnya. Tak ada obrolan ringan apalagi candaan.

Sarapan berakhir setelah piring bekas makan di tumpuk oleh Ibu. Andin membantu membawakannya ke wastafel dan sekalian mencucinya disana. Meski berkali-kali dilarang oleh ibu Andin tetap mengerjakan apa yang bisa dia lakukan.

Selesai mencuci piring-piring, Andin ikut bergabung di ruang keluarga. Gadis itu duduk di samping Ibu Ical. Di depannya ada Ical dan ayahnya yang sedang berdiskusi dengan suara pelan. Dari ekspresi wajah ayah Ical, Andin menduga obrolan ini akan menjurus ke hal-hal yang serius.

Melihat kedatangan Andin, Ayah Ical memalingkan pandangan dari putranya dan berkata. "Minggu depan Ayah dan keluarga berniat ke rumah Andin. Nanti tolong bilang Ibu-nya Andin ya,"

Andin meneguk ludah. Ayah Ical benar-benar tanpa basa-basi. "Iya Om, nanti saya bilang Ibu dulu."

"Tolong sampaikan maaf juga ya Ndin karena dari keluarga Ical paling hanya sepuluh orang."tambah Ibu.

"Nggak papa Tante. Kata Ibu saya yang penting khidmat."

Obrolan berlanjut ke gambaran acara dan rencana keberangkatan keluarga Ical ke rumah Andin. Saat Ical sedang menjelaskan rute dari rumah Andin ke stasiun kepada ayahnya, bel rumah berbunyi tanda ada tamu.

Ibu lekas berdiri untuk membuka pintu depan.

Dari ruang tengah Andin bisa mendengar dengan jelas obrolan ibu dengan tamu tersebut. Andin menyernyitkan dahi. Dia bertukar pandang dengan Ical. Entah kenapa suara tamu perempuan itu tak asing di telinganya.

"Mau mampir dulu?"ibu terdengar basa-basi.

"Boleh dong Tante, Katanya Kak Ical di rumah ya?"

"Iya, datang sama calonnya."

"Oh... Aku pengen kenalan juga dong Tan."

Andin menoleh ke belakang. Ibu memasuki ruang keluarga sambil menenteng bingkisan besar. Dibelakangnya, seorang gadis tinggi dengan rambut lurus sepunggung berjalan mengikuti.

Ical terlihat kaget, sementara Andin menghela nafas berat.

Dari suara yang tak asing itu seharusnya Andin sudah bisa menebak. Siapa lagi yang datang kalau bukan Liana?


To be continued

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.

To be continued...

Jangan lupa vote, comment dan follow ya...

ig:violianatha

JanjiDove le storie prendono vita. Scoprilo ora