BAB 6

551 105 8
                                    


Ical berjalan enggan menuju salah satu cafe yang ada di dekat kantornya. Dia masih mengenakan setelan kemeja dan celana dengan name tag yang masih menggantung di leher. Dia baru saja pulang kantor. Dia meneggaknan tubuh. Badannya terasa kaku karena seharian duduk di depan komputer. Sudah saatnya dia pergi ke gym lagi untuk melemaskan otot.

Ponsel di saku celananya bergetar membuatnya berhenti sejenak. Dia mengerutkan dahi karena sebuah pop up chat.

'Kak aku udah ada di tempat'

Ical berdecak. Tanpa membalas pesan itu, dia menjejalkan ponselnya ke saku celana lalu mempercepat langkah.

Jalan ke arah cafe dipenuhi para karyawan yang hendak ke stasiun mrt atau halte bus, ada yang masih berdiri di sisi jalan menunggu ojek online pesanan mereka, dan tak sedikit pula yang sudah ada diatas kendaran pribadi, memacu kecepatan untuk keluar dari area perkantoran. Orang orang itu seolah berlomba-lomba untuk segera sampai rumah dan beristirahat. Hal yang sebenarnya ingin dilakukan Ican juga kalau tak harus menyampaikan sekotak sari apel. Dia masih tak habis fikir. Apa sulitnya mengirim kotak apel itu lewat agensi pengiriman barang? Bayarannya pasti tak akan mahal kan?

Ical akhirnya sampai di café yang dia tuju. Dia mendorong pintu kaca café perlahan, menimbulkan bunyi dentingan. Beberapa pengunjung yang duduk di dekat pintu masuk meririknya sekilas, lalu kembali fokus dengan lawan bicara masing-masing. Di meja ujung sana, seorang gadis berambut lurus panjang dnegan poni rata melambai kearahnya. Senyum gadis itu lebar sekali. Ical terdiam beberapa saat karena bingung. Saat sadar kalau gadis itu Liana, dia berjalan mendekat sambil memaksakan senyum.

"Apa kabar Kak?"sapa gadis itu. Tangannya terulur minta disambut.

Ical menjabat tangan Liana sekilas. Pemuda itu agak menerjapkan mata. Seingatnya, dulu Liana gadis tomboy yang memiliki kulit coklat dan rambut agak merah karena terlalu lama main di lapangan. Dia selalu mengekori Ical main layangan, main bola, dan permainan anak laki-laki lainnya. Setelah Ical pindah rumah, dia tak mendengar kabar Liana lagi. Agak membingungkan karena sekarang Liana berkulit putih dengan rambut hitam legam.

"Baik. Kamu apa kabar?"tanya Ical basa-basi. Pemuda itu menarik kursi dan duduk di hadapan Liana.

"Baik banget kak."Senyum lebar Liana membuat matanya membentuk garis. Eyesmile.

Ical mengangguk-angguk. Meja itu masih kosong. Sepertinya Liana belum terlalu lama juga menunggunya. Pemuda itu mengangkat satu tangan memanggil pramusaji yang langsung berjalan mendekat. "Kamu mau minum apa?"

Pramusaji menyodorkan dua buku menu. Ical hanya membuka sekilas lalu menutupnya lagi sementara Liana menerimanya dengan riang.

Liana cukup lama membolak-balik buku menu sebelum berkata. "Aku... ice matcha latte extra sugar."

"Ice americano"tambah Ical sambil menyerahkan buku menu ke pramusaji.

Pramusaji mencatat pesanan lalu berjalan ke arah dapur.

"Ini."Ical meletakkan satu kotak sari apel diatas meja, mendorongnya mendekat ke Liana. "Kemarin ibu kamu titip."

"Ah iya,,"Liana menerimanya dengan riang. "Makasih ya Kak. Maaf Ibuku ngerepotin. Begitu tahu kalau Kak Ical pulang langsung semnagat titipin. Padahal nggak usah. Aku juga minggu ini pulang. Ibu khawatir juga mungkin karena disini aku sendirian."

Ical tersenyum tipis, selanjutnya hening. Ical tak punya banyak hal untuk dikatakan, jadi dia diam saja sementara Liana kelihatan bingung membuka pembicaraan lebih lanjut. Begitu minuman datang Ical malah sibuk minum, karena dari tadi dia haus sekali.

JanjiWhere stories live. Discover now