56 | jablay, jablay, deh!

Start from the beginning
                                    

Cinta memang kampret. Seenak udel sendiri.

Di mana-mana, cewek seperti dia, yang selalu jadi sorotan dan rebutan cowok-cowok—kecuali akhir-akhir ini semenjak sibuk bekerja dan malas hangout bersama teman-teman—seharusnya dipertemukan dengan cowok seperti Bimo, yang juga paket komplit. Bukan malah Zane yang nggak ada oke-okenya tapi sok jual mahal, menyimpan perasaan padanya, tapi selalu mengelak.

Sabrina jadi pengen jitak.

Pengen peluk, ding.

Pengen peluk semalam suntuk biar terobati jengkelnya berhari-hari kemarin.

Tapi karena tidak mungkin dirinya tiba-tiba memeluk Zane seperti seorang maniak, perempuan itu lalu menaikkan kakinya ke sofa, memposisikan diri, dan mencoba tidur.

Jelas gagal.

Sabrina dan kopi memang musuh bebuyutan, kecuali kopi instan yang jarang mempan dipakai untuk begadang. Tapi meski begitu, kalau tidak terpaksa, dia tidak pernah minum kopi malam-malam.

Karena frustasi, dan juga terganggu dengan penampakan Zane yang tetap terlihat seksi meski sedang terlelap, akhirnya dia naik ke rooftop. Berharap angin sepoi-sepoi bisa membuatnya rileks.

Direbahkannya dirinya ke salah satu kursi panjang yang ada di sana—tempat Zane dkk biasa merokok. Memandang ke langit.

Kopi sialan.

Telat banget reaksinya!

Ini kalau dituruti meleknya, bisa-bisa dia berubah menjadi zombie besok pagi.

Sabrina lalu berbalik. Terlungkup. Merem. Pipinya yang menempel bangku terasa agak sejuk.

Hening, kecuali suara kendaraan yang lewat di depan ruko mereka.

Tapi dia sama sekali tidak bisa rileks.

Banyak hal berseliweran di kepalanya.

Zane, pekerjaan, jadwal wisuda yang belum keluar, cicilan rumah, dan kartu kredit yang sudah limit.

Sejak kapan hidupnya jadi seremeh ini?

Padahal dari dulu Sabrina selalu produktif dan berprestasi. Isi kepalanya hal-hal penting semua, minimal menyangkut kelestarian alam, atau kepentingan orang banyak. Meski akhirnya gagal lulus cumlaude, setidaknya dia punya banyak pengalaman dan penghargaan selama kuliah.

Bahkan dalam urusan nggak penting seperti asmara, cowok-cowok yang pernah dekat dengannya juga nggak bisa dipandang sebelah mata. Semuanya punya peran hebat, setidaknya menurut standarnya.

Sekarang ini hidupnya benar-benar sampai pada titik balik.

Kata orang, kehidupan sebenarnya memang baru dimulai ketika lulus sekolah dan berhenti dibiayai orang tua.

Dan jelas kenyataan tidak sekeren ekspektasinya.

Sabrina menghela napas.

Ketika dia kembali turun dengan langkah gontai, arloji di tangannya sudah menunjukkan pukul dua lewat.

Badannya lelah. Tapi matanya tidak.

Sungguh kesialan yang hakiki.

"Kenapa sih, mondar-mandir dari tadi?" Zane mendadak mengerjapkan mata ketika Sabrina lewat di depannya.

Langkah Sabrina kontan terhenti.

Perasaan dia sudah berjalan sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara.

Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Where stories live. Discover now