Bab 20.6 : Poerba dan Sitanggang

218 30 0
                                    

Medan, 2 hari kemudian

Oka tidak butuh waktu lama untuk pulih dari trauma akibat peristiwa di Ourang Medan tempo hari. Ihutan Naipospos pasca kejadian itu menawarkan diri untuk memeriksa kesehatan mental Oka menurut pengetahuannya sebagai Orang Dakara dan Oka dia nyatakan sudah siap untuk operasi lapangan lagi. Hal berbeda dialami oleh Fajar, meski dinyatakan kelak dapat sembuh, namun sejauh ini Fajar masih tampak seperti anak idiot. Tangan dan kakinya sudah mampu bergerak bahkan berjalan, tapi kelakuannya sekarang jadi seperti anak kecil misalnya tiba-tiba saja minta gendong Sihar – yang sekarang ia panggil Abang – padahal Fajar lebih tua beberapa bulan daripada Sihar, atau ia berebut makanan dengan Zikri sampai-sampai Lidya harus menengahi.

"Kapan Fajar sembuh katanya?" tanya Oka pada Sihar saat hanya mereka berdua yang tinggal di asrama sebab yang lain sedang keluar.

"Entahlah, menurut Ihutan Naipospos dan Sitanggang katanya bisa makan waktu sebulan atau lebih, tapi jika dua Datu yang paham betul urusan supranatural ngomong hal yang sama berarti hal itu kemungkinan besar benar kan?"

"Kapan Tim-A dapat suplai prajurit baru lagi?" diam-diam Oka mulai khawatir dengan berkurang drastisnya personel Tim-A yang semula ada 12 orang ini.

"Mungkin tiga bulan lagi. Semoga saja."

"Kalau saja kita Dwarapala sekuat Lokapala, mungkin jumlah kita tak perlu terus berkurang."

"Oka, jangan iri dengan para Dwarapala. Mereka semua punya masalahnya sendiri-sendiri."

"Contohnya apa?"

"Kamu tahu? Sitanggang dahulu waktu pelatihan awal menjadi Lokapala dititipkan di Tim-A! Ya waktu zirah Lokapala belum jadi sehingga ia masih pakai zirah Dwarapala. Itu sebabnya anak-anak angkat dia jadi anggota kehormatan Tim-A. Tapi anehnya meski dia anak Medan dan asrama kami yang asli ada di Sibolangit, dia nggak pernah sekalipun pulang ke rumahnya di Medan."

"Lho kenapa?"

"Marga aku ada dua, yang satu Poerba, yang satu Sitanggang, tapi aku lebih suka marga ayahku, jadi aku panggil aku Sitanggang saja!" Sihar menirukan ucapan Sitanggang yang seringkali ia ucapkan.

"Kenapa dengan soal marga itu?"

"Kenapa Sitanggang nggak mau dipanggil Poerba Sitanggang? Padahal Poerba itu marga ibunya? Menurutmu kenapa? Apa dia pernah cerita soal ayah atau ibunya di sana?"

"Eee, dia mah cuma jadi anak yang riang gembira saja."

"Dan kamu yakin dia adalah anak yang selalu riang gembira?"

"Ng – nggak sih," dari sini Oka sudah mulai ragu apakah dia benar-benar kenal dengan Sitanggang meski dia sudah lumayan lama jadi teman sekamarnya.

"Sitanggang punya masalah dengan ibunya," Sihar menjelaskan sementara Oka menyimak, "Di Medan sini dia tinggal dengan ibu dan kakaknya saja sementara ayahnya bekerja di Agate Studio, studio game di Kota Bandung. Tiap dua bulan ayahnya pulang tapi itu jarang sekali. Sementara di rumah Sitanggang selalu merasa ia kurang disayang. Kalau kamu ketemu Ibu Sitanggang sekali saja maka kamu akan paham apa maksudku."

******

Di sudut lain Kota Medan, Andi yang dari dulu penasaran dengan kuliner roti srikaya Medan sekarang malah diajak oleh Sitanggang serta rekan-rekan barunya dari Dwarapala Tim-A untuk jajan di sebuah warung kopitiam yang cukup ternama di Kota Medan. Tapi di tengah-tengah keramaian pengunjung itu Sitanggang melihat sosok wanita yang sangat ia kenal seumur hidupnya tengah mengobrol santai bersama teman-teman dekatnya. Sitanggang sebenarnya tidak ingin menyapa wanita itu tapi sebagai ia juga tak hendak menjadi anak durhaka.

Maka ditinggalkanlah teman-temannya itu dan disapanya wanita yang dahulu melahirkannya tersebut. Wanita berhijab hijau itu berbinar mukanya ketika melihat putranya kembali pulang tapi Sitanggang tahu apa yang akan terjadi kemudian jika ia terlibat pembicaraan dengan ibunya itu.

"Ini anak aku, Iqbal," Ibu Sitanggang memperkenalkan Sitanggang kepada teman-teman minum kopinya.

"Wah ini juga mau jadi penyanyi terkenal kayak kakaknya ya?" tanya salah satu teman ibunya.

"Ah nggak, yang ini lebih suka ngurung diri di kamar daripada nyanyi di atas panggunng. Kurang pede dia, tak seperti kakaknya itu!"

"Wah sayang lo, padahal kalau bisa nyanyi juga kan komplit Bu Ida!" ujar temannya yang lain.

"Yah tidak tahu lah! Anak saya yang nomor dua ini memang beda dengan kakaknya, lebih bandel, lebih gampang stress, agak malas belajar juga, tapi ya nggak tahulah Bu. Nanti akan jadi apa."

"Nak Iqbal, nanti maunya jadi apa?" tanya salah satu teman ibunya yang lain.

"Belum tahu Tante," jawab Sitanggang sekenanya.

"Tipe-tipe semacam Nak Iqbal ini biasanya nanti jadi PNS lo! Banyak itu ponakan-ponakan saya yang tipenya pendek diam macam gini jadi PNS!"

"Wah harus siap-siap bikin daftar koneksinya tu Bu Ida!" celetuk ibu yang lain lagi, "Atau siapin dana besar juga lah biar lancar tesnya."

Sitanggang diam saja. Kehidupannya di mata Ibunya memang serba salah. Ibunya seperti hendak mengatur segala aspek kehidupannya padahal ia paling tidak suka diatur-atur. Itu sebabnya ia merasa lebih bebas sebagai Lokapala. Itu sebabnya ia sebenarnya tidak terlalu suka pulang ke Medan karena Ibunya selalu mengomentari setiap aspek hidupnya. Ia akan komentari hobi Sitanggang main game sebagai hobi tak berguna, kemampuan Sitanggang melawak tunggal sebagai kualitas artis kelas teri yang bisa dilakukan siapapun juga, bahkan yang lebih parah Ibunya selalu menganggap semua makhluk gaib yang pernah Sitanggang lihat sebagai halusinasi semata atau Sitanggang sedang berbohong untuk cari perhatian karena cemburu kakaknya dapat perhatian lebih dari kedua orangtuanya.

Sitanggang lebih suka ayahnya yang lebih memahami dirinya, itu sebabnya meskipun orangtuanya dahulu buat kesepakatan menamai kedua anak mereka menggunakan marga dari ibu dan ayahnya sekaligus, Sitanggang lebih memilih dipanggil Sitanggang daripada Poerba. Sayangnya ayahnya ada nun jauh di Bandung sana dan jarang pulang.

"Ah! Sebentar!" tiba-tiba Ibu Sitanggang mendapat telepon dan wajahnya tampak makin berbinar ketika mendapat telepon itu.

"Wah Iqbal! Abangmu diundang jadi bintang tamu di Perayaan Ulang Tahun Kota Bukittinggi lo! Yang mengundangnya langsung Pak Walikotanya lagi!"

"Wah!" teman-teman ibunya tampak ikut berbinar, "Selamat ya Bu Ida! Kapan acaranya?"

"Tiga hari dari sekarang! Wah Bal! Ini Ibu nggak bisa buatin apa-apa buat kamu makan di rumah, kamu beli saja ya?" ujar Ibunya sembari menyodorkan satu amplop berisi uang.

"Ya Bu!" Sitanggang menerima uang itu dengan malas lalu setelah berpamitan ala kadarnya dengan ibu kandungnya itu, Sitanggang kembali ke meja di mana Andi dan Para Dwarapala Tim-A.

Teman-temannya yang sedikit banyak mendengar pembicaraan antara Sitanggang dan ibunya tadi hanya bisa bengong dan diam.

"Kenapa muka kalian semua ditekuk macam bebek sawah begitu? Ayo kita mau pesan apa? Aku yang bayari!" sekali lagi Sitanggang mengenakan topeng anak yang riang gembira lagi di hadapan teman-temannya. 

Lokapala Season 2 : Pahom NarendraDove le storie prendono vita. Scoprilo ora