The Human Mate

Hierarchy

Beberapa tahun sebelumnya.

Pemakaman ayahnya, baru satu minggu yang lalu. Dengan alasan untuk mendisiplinkan nya, Shin Boreum, mengirim Jihoon ke suatu desa, yang entah tercantum pada peta atau tidak. Tentu saja Jihoon tidak percaya alasan mengada-ada itu. Sesuatu pasti direncanakan oleh ibu tirinya. Tidak ada hal baik yang terjadi, ketika wanita itu datang pada kehidupan mereka. Aereum tidak terkecuali. Adiknya yang manja, dan pemaksa mewarisi seluruh sifat ibunya, akan tetapi, Jihoon menyayanginya.

Shin Jihoon tiba dengan bus. Pemberhentiannya berupa halte yang sudah tertutup oleh rumput, dan tanaman merambat. Tidak ada mobil yang datang menjemputnya. Alih-alih kendaraan, seorang pria tua agak bungkuk datang berlari-lari ke arahnya. "Tuan muda, silahkan ikut saya," katanya sembari menyeret koper milik Jihoon.

Rumah-rumah di desa Wol sebagian besar masih tradisional. Bangunannya berbahan batu, kayu, dan jerami. Jihoon dan pria tua yang ia duga sebagai tukang kebun itu, menyusuri jalan lurus dan menanjak. Jihoon menggosok lengannya, suhu udara ternyata lebih dingin dari pada di Seoul, sedang sekarang adalah awal musim panas. Pemuda berusia 16 tahun itu, tiba pada sebuah kompleks perumahan yang memiliki gerbang besar. Kediaman itu terdiri dari, empat bangunan beratap genting yang terpisah. Jihoon yakin, tempat peristirahatan pribadi ayahnya, adalah bangunan paling besar di desa ini.

Seperti yang sudah Jihoon perkirakan, dusun ini memang indah, tetapi belum setengah jam, dia sudah diserang rasa bosan. Dia mengeluarkan ponselnya untuk menelpon Bae Mirae, gadis itu pasti menanti kabar darinya. "Tentu saja, tidak ada sinyal," rutuk Jihoon.

"Tuan muda, di desa hanya ada satu tempat untuk mendapatkan sinyal ponsel." Pria bungkuk itu menunjuk bukit di belakang Jihoon.

Pemuda itu menoleh, bersamaan dengan berhentinya sebuh truk pengangkut sayuran berwarna merah di belakangnya.

"Tuan Gu, pesanan anda sudah tiba," teriak pria yang turun dari truk.

"Oh, jadi kamu, anak itu. Selamat datang di desa Wol," lanjut Lelaki paruh baya berwajah hangat itu sembari menurunkan keranjang-keranjang sawi putih. Melihat Jihoon sedikit bingung pria itu berkata, "Ini desa kecil, jadi semua orang tahu berita terbaru. Saya Han Jaehyun, petani sayur dan buah."

Shin Jihoon menganguk mahfum. Di desa, tidak ada tempat untuk privasi dan rahasia. "Anda juga mengantar bunga?" Jihoon bertanya tidak yakin. Dia celingak-celinguk mencari sesuatu dari tumpukan kubis, kentang, dan wortel.

Han Jaehyun mengerutkan alisnya. "Itu tidak perlu, desa ini penuh dengan bunga liar. Semua orang bisa mendapatkannya dengan percuma."

"Maksudku---" Jihoon tidak sempat menyelesaikan kalimatnnya karena teriakan dari dalam truk mengagetkannya.

"Ayah, cepatlah!" Si pemilik suara itu turun kemudian membanting pintu mobil dengan keras.

Gadis itu terlihat sedikit lebih tua, hanya saja tinggi badannya hanya mencapai bahu Jihoon. Rambutnya berpotongan pendek, fitur wajah dan warna matanya unik, tidak seperti gadis-gadis yang pernah dia temui sebelumnya.

Bersama angin, berembus wewangian yang Jihoon yakini berasal dari tubuh gadis itu. Segala hal tentang Mirae dan parfum impornya, tidak ada apa-apanya dibanding gadis ini. Bukan karena wajah dan tubuhnya, sesuatu tentang aroma itu membuatnya menelan ludah. Matanya terpaku untuk tetap memandangi wajah, leher, dada, dan perut sang gadis. Jihoon tersadar dari keinginan untuk mencumbui seseorang yang baru pertama kali dia lihat seumur hidupnya.

Ini bukan cinta pada pandangan pertama, Jihoon sangat yakin tentang hal ini. Juga bukan karena terpesona atau semacamnya. Situasi ini terlihat seperti, dirinya atau seseorang di dalam dirinya, dipaksa untuk takluk dan patuh pada aroma itu. Bukan berarti Jihoon tidak sadar seperti terhipnotis, sialnya pikirannya tetap jernih dan sadar, tetapi dia tidak punya kuasa untuk melawan godaan itu.