Males

2.2K 158 2
                                    

Sudah hampir lima belas menit Morea menatap ke arah jendela besar di sampingnya. Beberapa pot succulent dan bambu mini menarik perhatiaannya, bukan karena dia mengagumi keindahan tanaman hias itu, melainkan karena tidak ingin bertatap muka dengan Lee Ryong yang sekarang menyebut dirinya Drake.

Sejak terbangun dari tidurnya, Drake tidak pernah memalingkan wajahnya dari Morea. Yang lebih membuatnya jengah adalah pria itu selalu tersenyum seperti sedang kasmaran. Morea lebih suka menyebutnya sakit jiwa. Tatapan matanya memuja, seakan-akan Morea adalah kekasihnya dan mereka sedang dalam perjalanan kencan pertama. Pria dengan keindahan bak Dewa Yunani menyukai dirinya? Sudah pasti orang itu gila. Morea sadar diri. Alasan lainnya; dia sama sekali tidak tertarik.

Han Morea memperbaiki posisi duduknya. Meskipun sofa berwarna putih tulang itu terasa nyaman, namun bertahan dengan posisi sama selama beberapa saat membuat punggungnya sakit. Dia menajamkan telinganya saat suara lembut psikiater senior itu terdengar.

...

"Nama saya, Park Kyujong."

Dokter Park---pria paruh baya dengan rambut beruban dan berwajah bijaksana memandang ingin tahu pada pasien dari balik kacamata berbingkai tanduknya. "Perkenalkan dirimu, Nak," katanya ramah.

"Diederich Alaric Adalwolf," jawab Drake singkat dengan mata yang tetap tertuju ke punggung Morea.

"Indah, seperti nama seorang bangsawan," kata dokter Park, kepalanya mengangguk-angguk pelan. Sudah menjadi profesinya untuk bertanya dan mendengarkan apapun dari pasiennya, meskipun apa yang didengarnya tidak masuk akal sekalipun. Sebenarnya dokter Park hanya asal menebak, nama panjang dan rumit biasanya dimiliki oleh bangsawan pada zaman dulu. Dia pernah menjumpai beberapa kasus serupa. Orang-orang yang mengaku reinkarnasi bangsawan Eropa. Atau, pasien dengan kasus kepribadian ganda.

"Anda sangat pandai, Tuan. Mengingatkan saya pada menteri pendidikan kerajaan Joseon."

Baru saja dokter Park memikirkan zaman kebangkitan Eropa, kini pikirannya melompat ke era kerajaan Korea abad ke-16. Psikiater itu tersenyum lagi. "Terimakasih, saya merasa terhormat. Itu karena saya seorang dokter."

"Hmmm ... sudah saya duga, apakah pekerjaan anda sama seperti tabib?" Drake yang tadinya ketus kini nampak terkesan.

"Tentu. Kami sama-sama penyembuh."

"Tetapi, saya tidak sakit. Saya berada di sini karena mate-ku bersikeras agar diriku menemui anda."

"Mate?" tanya dokter Park antusias. Meskipun sedang berbicara, dia tetap menulis informasi baru dalam buku catatannya.

"Seseorang yang ditakdirkan Dewi Bulan untuk jodoh seseorang."

"Oh ... saya punya seorang mate, isteriku." Dalam pengetahuannya, mate adalah pasangan atau teman. Park Kyujong memperlihatkan sebuah pigura berisi foto di meja kerjanya.

"Anda bukan seorang werewolf." Nada suara Drake terdengar kecewa, padahal dia menganggap orang tua di hadapannya adalah orang yang bijaksana dan berpengetahuan tinggi.

Drake menutup mulutnya, dia tidak mau menjawab pertanyaan lagi. Melihat dokter di hadapannya hanya tersenyum, Drake mulai berpikir bahwa memberi tahu identitasnya adalah sebuah kesalahan.

...

Morea sengaja memakaikan pakaian olahraga lengkap dengan tudung di kepala Drake agar penampilannya yang aneh tidak mengundang perhatian.

Di zaman modern seperti ini, pria tidak lagi harus memanjangkan rambut dan menguncirnya di atas kepala, tetapi makhluk unik di sampingnya, dengan santai meminta pita untuk mengikat rambutnya, ditambah setelan hanbok lengkap untuk pakaiannya (sebelumnya Drake meminta celana dari kulit beruang).

The Human MateWhere stories live. Discover now