05| Makanan Orang Gila

5 1 0
                                    

Langkah ini mengantarku pada titik menyebalkan. Beberapa kali harus berjinjit karena tak sengaja menginjak sesuatu yang tajam. Aku seperti, berdiri ditumpukan sampah. Tidak cukup di situ, aku masih berusaha lari—lebih tinggi. Perasaan takut membuatku melupakan semuanya. Aku tak menghiraukan, meski berkali-kali meluncur ke bawah.

Aku berhenti, sampai meyakini kalau tumpukan ini tidak akan ada puncaknya. Di tengah sepi, aku menyadari bahwasanya sudah tidak ada lagi gemuruh amuk. Rasa lelah  menyergapku, tak mampu bergerak, dan langsung membaringkan tubuh di bukit sampah. Kebetulan saat aku berbaring, tempatnya empuk seperti kasur. Mungkin memang kasur, walau di beberapa kondisi aku merasa pernya sedikit mencuat menusuk belakangku.

Meskipun lelah dan ditemani kasur. Rasa kantuk belum juga menghampiri. Aku tahu, semua ini karena keadaan sekitar yang begitu lembap dan bau. Sungguh disayangkan. Seharusnya orang bumi memanfaatkan barang-barang tak berguna ini. Sebenarnya di dunia tidak ada yang namanya tidak berguna, yang ada hanya dianggap tidak berguna, contohnya sampah. Termasuk aku. Mungkin daripada itu para Mrs. berusaha membuatku berguna. Semacam didaur ulang.

Lenganku terulur ke bawah, meraba-raba lantai sampah guna mengisi kekosongan. Namun, dengan cepat kutarik kembali lenganku. Karena habis saja menyentuh, ah aku tak tahu apa. Tapi setelah kudekatkan ke hidung. Amis, perutku terasa dibelender. Rupanya aksi mengisi kekosongan ini membawa sial.

“Mac Harmon!”

Aku menajamkan telinga. Belum tahu pasti. Apakah orang yang memanggil itu benar memanggilku atau sekadar berteriak masih mencari. Guna mengantisipasi aku balas berteriak, “Eniyan, aku di sini!” Sembari berdiri dan merentangkan tangan.

“Mac Harmon!” suara yang sama kembali terdengar.

“Iya Eniyan, aku di sini!” balasku berteriak lebih keras. “Eniyan aku di sini! Eniyan aku di sini! Eniyan aku di sini!”

“Aku sudah di sampingmu.”

Aku bernapas lega, melengos dan kembali duduk. Dengan pita suara yang sedikit tercekit. Kini, aku sangat butuh air. Lalu, butuh makan. Petualangan yang seru, atau mungkin tidak. Entahlah aku bingung. Yang penting, aku butuh sesuatu yang bisa mengisi lambungku.

“Kau kelihatannya lapar?” tanya Eniyan.

Aku tidak menjawab. Kupegang perut lebih erat guna memberi tahu kalau aku sangat-sangat lapar. Kemudian kembali berbaring, berlagak manusia paling menderita di dunia.

Kasurku sedikit mengempis, Eniyan duduk di samping. “Bukankah kau Mac Harmon yang dari bumi? Soalnya aku tidak melihat tanda rumput di kepalamu.”

Tidak ada jawaban.

“Ternyata kau sama seperti Mac Harmon. Juga bisa lapar.”

Aku semakin menggulung tubuhku. Merapatkan kedua gigi menahan sakit. Susah payah aku bertanya, “Apa yang Mac Harmon makan?”

“Dia makan apa pun yang ada di sekitarnya. Selagi itu bisa dimakan. Sebelum makan, dia mencium bau benda yang ditemukannya lebih dulu, lalu dimakan. Aku salut dengan hidungnya itu.”

Makan apa pun. Seketika aku teringat beberapa orang gila. Yang kutahu mereka berkeliaran di jalan dan pemakan segalanya. Meskipun begitu, mereka tetap bugar dengan rutin  berjoging ria di sepanjang jalan. Ya, kurasa begitulah Mac Harmon. Hingga dia bisa hidup sampai sekarang. Kemudian, apakah Eniyan juga begitu.

“Kita ada di tempat pembuangan sampah. Seharusnya ada banyak makanan di sini. Biar aku yang mencarinya.”

Anggukan pelan mewakili jawabanku. Eniyan raib. Penuh harap aku ingin dia cepat kembali. Meski aku tahu, kalau kepulangannya hanya membawa sampah. Rasa lapar ini benar membutakanku. Otakku seolah tidak mau bertanya, di mana keberadaan Mac Harmon sekarang. Terserah, mati dimakan kucing?

“Buka mulutmu,” kata Eniyan memegang bahuku. Didorongnya sedikit sampai aku berhasil duduk.

“Makan,” katanya lagi, menjejalkan benda asing ke bibirku.

Selagi benda yang dijejalkan itu tidak menimbulkan bau aneh. Aku membuka mulut. Satu gigitan, dikunyah, telan. Tidak terlalu buruk. Awalnya aku berakseptasi akan menelan bungkus  plastik. Untuk rasanya sendiri, hambar. Roti mungkin. Lahap, meninggalkan gigitan terakhir.

“Terima kasih,” kataku.

“Maaf kalau tidak bisa membantu banyak. Aku masih punya tiga roti lagi, kau mau?”

Aku menggeleng. “Sisakan untuk nanti kalau aku lapar.”

Eniyan meletakkan tangannya di pahaku. Tidak ada percakapan, sekitar tiga puluh detik dia membuka mulut. “Untuk makanan yang tadi, kau tidak perlu khawatir. Aku sudah membersihkannya.”

“Iya,” jawabku singkat.

“Jika kau kedinginan. Aku bisa mencarikanmu selimut bekas. Oke, sepertinya kau tidak perlu menjawab. Aku akan segera mencarikannya.”

“Terima kasih lagi, Eniyan.”

“Kita beruntung bisa ada di sini. Aku akan cari beberapa barang lagi untuk perjalanan kita nanti. Setelah itu kita akan mencari keberadaan Mac Harmon.”

Aku mendengar kekehkan dari Eniyan. Tidak tahu, mungkin dia berusaha sedikit menghiburku. Tanpa sebab pasti, aku balas tersenyum. Disusul kekehkan panjang oleh Eniyan. Kemudian tertawa. Emosi Eniyan tertular kepadaku, aku ikut tertawa. Seperti baru saja saling berlembar gurau.

Puas tertawa untuk sebab yang kurang logis. Akhirnya aku membaringkan tubuh, menjadikan lengan sebagai bantal. Menatap ke atas, berandai-randai tengah memerhatikan bintang.  Sikuku baru saja menyentuh rambut Eniyan—Eniyan turut berbaring di samping.

Aku merasa napas Eniyan sangat dekat ke telingaku. “Kau terlihat tampan,” katanya.

Dada ini bergejolak. Menciptakan rasa gelisah yang sulit dimengerti. Seakan menderita kebisuan, aku tak sanggup berkata. Oh untuk diriku sendiri. Sadarlah, Eniyan tak serius mengatakannya. Dia berbohong. Lagi pula, seluruh manusia bumi juga tahu kalau yang namanya Mac Harmon itu buruk rupa.

“Kenapa?” suara Eniyan terdengar lembut.

Aku pura-pura tak mendengar. Memilih untuk sendiri dalam gelayut tanda tanya. Lagi dan lagi, Eniyan bertingkah aneh. Aku tak menangkap kesan bijaksana pada dirinya. Namun, perasaan hangat yang ditunjukkan Eniyan membuatku beranggapan kalau Eniyan sedang mode penuh kasih. Mungkin itu alasan dia berbuat baik padaku. Tidak lama lagi, muncul pribadi baru, yaitu si tukang bully. Pasti dia akan mengejek rupaku mati-matian.

“Argh...!”

Hal itu sontak membuatku langsung terbangun. Jerit mengerikan yang membuat bulu kuduk berdiri. Aku menarik tubuhku menjauh. Terjatuh dari kasur, aku tidak mengiyakan dan terus bergeser. Suara itu, memberitahu bahwasanya dia sangat menderita. Tersimpan pedih yang tidak bisa diartikan. Aku tidak mengerti. Hendak menolong tapi terlalu pengecut.

“Argh...!”

Suara itu kembali terdengar, disusul suara ketiga, keempat dan seterunya.

“Tolong aku,” terucap pelan. Namun cukup membuatku iba.

“Eniyan, kamu kenapa?”

“Eniyan, kamu kenapa?”

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***

Pejuang SBMPTN 2022!

Saving Mosquito [TELAH TERBIT]Where stories live. Discover now