04| Kucing Asap

7 11 0
                                    

Kami berjalan seolah tanpa keringat. Sedangkan Eniyan selalu menggerutu. Tak pernah habis marah untuk suatu hal kecil. Jujur aku lelah, sangat lelah. Namun, setiap kali bersadu atas perasaan yang kualami. Eniyan berubah singa. Tidak terlalu ingat si dengan bentuk singa yang sebenarnya, tapi aku tahu kalau singa termasuk hewan buas. Beberapa bulan lalu ketika aku mendengar acara televisi, pembawa berita memberitahuku kalau ada singa yang lepas dari kebun binatang, mereka bilang singa itu buas. Dan mengenai bentuk, aku hanya mengandalkan ingatanku saat taman kanak-kanak. Sayangnya seiring waktu, ingatanku tentang bentuk dunia semakin memudar.

Lupakan. Aku pernah marah pada Eniyan, tapi dia memukulku. Aku ingin membalas sialnya terkurung oleh keterbatasan ini. Eniyan memang perempuan, tapi ketika dia marah. Kepribadian itu membuat tenaganya menjadi super besar, kakiku ditendang olehnya. Kemudian tersungkur, beruntung aku jatuh menimpa Mac Harmon. Sejujurnya aku ingin mengambil kesepakatan dengan Mac Harmon. Ya, agar membenci Eniyan. Malang, cinta benar-benar membutakannya.

Aku tak sengaja menabrak Eniyan. Aku pun mendapat dengusan tak sedap darinya. Eniyan mengoceh, "Berhenti di sini dulu." Dia melepas genggamannya pada tanganku.

Aku hendak bertanya, tapi terhalang rasa takut.

"Aku ingin mencari penanda khusus untuk membedakan kalian berdua."

Jelas aku mendengar intonasi suara yang berbeda. Kali ini Eniyan mirip Mrs. Ivana. Tidak mengerti entah hanya perasaanku saja atau bukan. Namun, ini mungkin bisa saja terjadi. Karena Eniyan menunjukkan aura yang berbeda.

"Itu ide bagus, Eniyan," balas Mac Harmon.

"Terima kasih," kata Eniyan. Dia tidak marah lagi.

Oh ya ampun, aku tidak akan membuang kesempatan ini. “Eniyan, apa aku boleh memukulmu?” tanyaku bersemangat seraya berlandaskan keyakinan kalau Eniyan yang baik pasti mengizinkan.

“Siapa yang memukulmu? Dan yang pasti itu bukan aku. Balaslah memukul ketika aku sedang marah.”

“Kapan kau akan marah? Kalau begitu aku tidak akan punya kesempatan,” balasku tak kalah sengit.

Tiba-tiba, seseorang menyentuh bahuku. “Aku tidak akan mengizinkanmu memukul Eniyan,” katanya terdengar santai, tapi sangat tajam.

Aku terkekeh kecil. Untuk apa mengindahkan ucapan Mac Harmon. Ya toh, aku sudah mengepal genggamanku, siap memukul Eniyan. Tak peduli jenis kelaminnya. Dia saja tega memukul orang buta. Kenapa aku tidak?

Sudah siap? Oh ya, aku lekas mengayunkan lenganku. Buruk, dan seperti kebanyakan orang buta. Aku gagal, lenganku hanya berayun pada angin. Eniyan yang berkepribadian lebih pintar seperti menyadari niatanku. Pengecut itu sudah menjauh? Mungkin.

Di luar dugaan. Kepalaku termundur. Kepalan itu datang dari sebelah, membuat pipiku penyok. Tak berhenti di situ, bokongku terbentur ke lantai. Hal itu cukup membuatku terdiam.

“Apa yang kalian berdua lakukan?” tanya Eniyan.

Faktanya, yang memukulku bukan gadis aneh. Tak lain adalah Mac Harmon. Belum jelas apa alasan dia melakukannya. Tuhan, apa pekerjaanku datang ke sini hanya untuk mencari musuh? Benar saja, lenganku sudah tak sabar ingin berbalik mencium pipi Mac Harmon. Malang, aku masih belum siap berdiri. Tolonglah, bantu aku.

“Eniyan, bukankah dia memukulmu tadi? Jadi aku balas balik,” kata Mac Harmon. Dia menendang kecil pahaku.

Aku berdecih tak terima, dan menendang balik kaki jahilnya.

“Mac Harmon, dia tidak memukulku,” jawab Eniyan

Mac Harmon membalas dengan terbata-bata. “Tapi, tapi aku merasakan bahu orang itu bergerak cepat sebelumnya. Aku yakin dia mengayunkan lengannya ke arahmu.”

Saving Mosquito [TELAH TERBIT]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora