11| Petani Pelit

11 1 0
                                    

Tanganku ditarik Mrs. Ivory. Hal itu membuatku kembali terjatuh. Mrs. Ivory meniup lututku yang terasa perih. Ketika embusan itu menyentuh bibir kulitku yang memerah. Argh ... rasanya semakin perih. Oh ayolah, apa ini? Seharusnya kami buru-buru menjenguk Mac Harmon.

“Kau tidak apa, Nak?”

“Tidak apa-apa, tapi bagaimana dengan Mac Harmon?”

“Mrs. Ivy dan Eniyan sudah mencari lebih dulu.”

Aku mengembuskan napas lega. Tidak mau membuang waktu dan langsung meraih tangan Mrs. Ivory lalu menariknya dengan satu dua tarikan. Mrs. Ivory seolah mengerti. Dia segera menuntunku. Tidak berlari, hanya jalan santai.

Aku yakin seharusnya Mrs. Ivy pasti sudah menyelamatkan Mac Harmon. Dengan kemampuannya Mrs. Ivy bisa berubah monster dan menakuti penculik. Semoga saja.

“Di mana Mac Harmon?” tanya Mrs. Ivory.

Aku melipat dahi. Ingin menutup telinga karena tak tahan atas apa yang kudengar. “Kenapa bisa?” tanyaku seperti menuntut agar mereka mau bertanggungjawab.

“Tidak tahu, saat kami tiba di sini mereka sudah hilang,” Mrs. Ivy mencoba membela diri.

Aku terduduk, tak kuasa menjalani hidup. Bertanya-tanya kenapa aku selalu dibuat stres, dosa apa yang kuperbuat? Aneh saja, jika di bumi entah kenapa para Mrs. terkesan tidak berguna.

Dan sekarang bingung, apa bagusnya meninggalkan Mac Harmon dan pergi mencari padi? Tapi sebelum itu, aku harus menindaklanjuti salah satu orang. “Mrs. Ivory. Seharusnya kau bisa datang ke sini dalam waktu sekejap tadi?”

“Tidak bisa, Nak. Bukankah kau yang bilang jangan menggunakan keajaiban. Lagi pula, jaraknya sangat dekat dengan  lokasi kita yang tadi. Namun, maafkan aku. Kau jangan bersedih, nanti kita akan menemukan  Mac Harmon.”

Kami melanjutkan perjalanan, dan saling bergandengan satu sama lain. Berjalan ke sembarang arah, hanya dengan bermodal pengetahuan yang kumiliki. Mereka kuberi tahu kalau padi itu ada di sawah. Dan sawah itu berada di tempat sepi nan luas, warna hijau membentang. Hanya itu yang bisa kuinformasikan. Karena ingatanku tentang bumi semakin lama semakin menipis. Ketika aku bermimpi saja, hanya sedikit yang kulihat. Tapi untunglah, saat taman kanak-kanak aku sangat hafal dengan nama-nama warna. Modal besar sehingga membuatku bertahan sampai sekarang.

Langkah ini mengantarku pada jalan berlumpur. Agaknya kami berhasil tiba di pedesaan. Sejuk sekali, mungkin tak lama lagi kami akan menyaksikan hamparan sawah. Semoga.

Di sepanjang jalan, Mrs. Ivy selalu mendeskripsikan apa yang dia lihat. Akan tetapi, satu pun tak mendeskripsikan tentang sawah. Hendak bertanya pada seseorang, satu pun tidak ada yang dijumpai. Jangan-jangan kami berada di tengah hutan?

Kami berjalan lebih jauh, kali ini panas matahari benar-benar mencapai kepalaku. Sampai. ....

“Eh itu ada kendaraan. Apa kita mau bertanya pada orang yang di dalamnya?” kata Mrs. Ivory.

“Kalau begitu, ayo kita ke sana,” sahut Mrs. Ivy.

Aku dan Eniyan hanya diam. Diamnya Eniyan sangat diam. Cukup diakui kalau kepribadian Eniyan yang satu ini sungguh membosankan. Pantas saja Mrs. Ivy tak suka. Logika saja sih, tidak akan ada si cerewet yang mau berteman dengan si pendiam.

“Ada yang bisa kami bantu, Tuan?” kata Mrs. Ivy ramah.

Namun, apa balasan orang itu, “Pergi sana, kami  tidak butuh bantuan kalian?”

“Tunggu, siapa itu di dalam?” kata Mrs. Ivy.

Aku yang digandeng Mrs. Ivory menjadi sangat penasaran. Apa yang dimaksud Mrs. Ivy. Andai aku punya mata.

Saving Mosquito [TELAH TERBIT]Where stories live. Discover now