08| Barang Rusak

5 1 0
                                    

Rasa ini seperti,  kau baru saja pulang dar darii tersesat panjang. Semangatku menggebu ketika Eniyan memintamenyuruh berlari. Bukan dikejar kucing raksasa, tapi berlari girang demi mengekspresikan rasa bahagia. Tak peduli jatuh, lekas bangkit. Lupa kalau sebenarnya Eniyan berada di pundakku. Aku yakin perempuan itu terjatuh. Terpaksa, harus mengulang dan menjemputnya. Membiarkan Mac Harmon pergi lebih dulu. Tampak dia belum sadar kalau Eniyan terjatuh. Jika saja dia tahu, pasti dia ‘kan berbalik dan menunjukkan rasa cintanya itu.

Aku berlari menyusul Eniyan. Eniyan memberitahukan posisinya sambil berteriak. Akhirnya aku sampai kepadanya.

“Aku iri, dengan Mac Harmon, dia sudah lebih dulu,” kata Eniyan.

Aku sependapat dengannya, kemudian bergegas menaikkan tubuh mungil Eniyan ke pundakku.

“Jangan meninggalkanku lagi. Sungguh aku iri karena kau bisa berlari.”

Aku tak menggubris, terus berlari. Seolah tidak takut akan menabrak sesuatu nantinya. Ah, serahkan saja pada Eniyan, lagian dia tidak bilang ada bahaya. Berarti aman. Namun sayangnya, yang jelas saat di jalan tadi aku sering menabrak karena instruksi Eniyan yang kurang benar. Dan, aku tertabrak. Bukan dinding ataupun pintu, lebih tepatnya orang.

“Eniyan, kau kau kah itu?” sambut suara itu.

“Iya, Mac Harmon. Kenapa kau tidak lebih dulu saja?”  jawab Eniyan.

“Eniyan, Mac Harmon, dan Mac Harmon? Akhirnya kalian datang juga.” Suara cempreng yang kurindukan, Mrs. Ivy.

Aku segera berdiri. Tak sabar melempar pertanyaan kepada para Mrs. Dua pasang langkah lain terdengar mendekat. Satu samar,  dan satunya lagi terdengar berat--langkah milik si bongsor, Mrs. Ivory.

“Anak-anak, selamat kalian berhasil,” Mrs. Ivory bersikap ramah. Aku kaget, karena dia memelukku. Lama sekali, dia tidak mau melepaskannya. Ragu, tapi kusambut pelukan itu. Nyaman sekali, hangat. Kini berbalik seperti aku yang tak mau lepas. Namun, akhir dari pelukan hangat pasti terjadi.

Mrs. Ivory selesai  memelukku. Tak lama, Eniyan bersuara, “Terima kasih pelukannya, Mrs. Ivory.”

Aku mendengkus sebal. Seharusnya hanya aku yang mendapat pelukan hangat. Sejarah, kan aku tidak punya orang tua. Bodoh, agaknya aku melupakan Eniyan dan Mac Harmon. Mereka juga tak punya orang tua, bahkan keluarga. Tapi mereka masih beruntung karena menganggap para Mrs. orang tua mereka.

“Eniyan, apa kau baik-baik saja?” tanya Mrs. Ivory.

Eniyan berdiri sambil bertopang di bahuku. “Awalnya sangat sulit, tapi sepertinya sekarang sudah agak mendingan.”

Mrs. Ivana berdehem berat. “Kalau sudah, kita ke ruangan lain. Kalian pasti mau istirahat.”

Tawaran yang menciptakan rasa bahagia yang teramat. Tanpa diundang, kulit Mrs. Ivy yang kurus menggenggam lenganku.

“Eniyan, kau bisa jalan lebih dulu,” kata Mrs. Ivana.

“Aku iri dengan Mac Harmon dan Mac Harmon dari bumi. Kalian digandeng, kenapa aku tidak?” Eniyan bernada kesal seraya berlagak manja.

Mrs. Ivana terkekeh kecil. “Baiklah, aku bisa menggandengmu, Eniyan.”

Eniyan tidak menjawab, dia hanya berlari cepat ke arah Mrs. Ivana. Jadi, aku digandeng Mrs. Ivy. Eniyan digandeng Mrs. Ivana, Mac Harmon digandeng Mrs. Ivory. Seharusnya aku saja yang digandeng Mrs. Ivory.

Kalian tahu, kadang ada beberapa orang buta yang tidak suka berjalan ramai-ramai. Suara langkah yang membuat telinga pecah. Seperti ada pertanyaan, itu suara langkah atau bom? Bagi yang sudah biasa menajamkan telinganya untuk mendengar langkah kaki. Tentu langkah kaki akan terdengar sangat nyaring jika dilakukan serentak seperti ini.

Saving Mosquito [TELAH TERBIT]Where stories live. Discover now