06| Dihempas Langit

9 0 0
                                    

Bola mataku meredup, dan aku sadar kalau ini masuk jam tidur. Seharusnya sudah malam, jika di bumi. Meskipun senantiasa melihat kegelapan, setidaknya aku masih bisa membedakan mana gelap dan yang mana terang. Ketika mendongak ke matahari, biasanya ada seberkas cahaya putih. Tapi tampaknya di Inutilia tidak ada matahari. Namun, walaupun begitu Inutilia selalu terang. Tidak tahu sebabnya.

Oh iya, untuk Eniyan yang sempat berteriak histeris. Dia kembali normal. Beruntung durasi teriak-teriaknya hanya sebentar. Ketika aku tanya, dia tidak mau menjawab. Perempuan itu malah menyuruhku tidur.

***

Pagi ini, pagi? Anggap saja begitu. Memang susah membedakan jika tidak ada matahari. Pagi ini. Oh ya ampun, aku mengulanginya lagi. Tapi, peduli amatlah.

Aku meregangkan tubuh sembari menguap lebar. Terdengar bunyi klok di pinggang. Itu membuatku lega, seperti habis buang angin.

“Kau sudah bangun?”

Aku tersenyum. Baru tersadar dari dunia kapuk sudah disambut suara sehangat ini. Meski tak sehangat Mrs. Ivory.

“Apa perutmu lapar? Mau sarapan? Aku masih menyimpan sisa roti. Tapi maaf sebelumnya, rotimu sedikit tergores karena amukanku saat itu. Sebelum aku memberikannya, ada satu pertanyaan. Apa perutmu sakit?”

“Tidak.”

“Baguslah. Kalau begitu, cepat makan. Kita akan melanjutkan perjalanan.”

Aku mengangguk. Eniyan menyentuh lenganku menggunakan roti. Lalu kusambut, dan makan. Argh ... rotinya tak seenak kemarin. Baik, aku tidak boleh berbuat lebih, takut menyakiti perasaan Eniyan. Terpenting makan. Orang gila tidak ada yang mati karena makan sembarangan.

“Jangan buru-buru. Nanti kau tersendat, di sini tidak ada air minum.”

Astaga, aku lupa. Saking ingin cepat terbebas dari makanan hambar. Aku lupa cara beretika, ditambah tidak ada air minum. Seharusnya aku lebih hati-hati. “Maaf.”

“Maaf juga karena tidak bisa mencarikan air minum untukmu.”

Hening. Sepertinya Eniyan sibuk dengan pikirannya sendiri. Begitu pun denganku, atau jangan-jangan Eniyan memikirkan hal yang sama? Tentang Mac Harmon yang ada bandul rumput di kepala. Aku sendiri bingung, apa tidak sebaiknya mencari Mac Harmon dulu baru kemudian ke pabrik. Sialnya, orang buta bisa apa?

“Eniyan?” panggilku setelah habis melahap roti.

“Iya?”

“Apa kita tidak mau mencari Mac Harmon lebih dulu?”

Eniyan tak langsung menjawab, memilih diam beberapa detik. Lalu berkata, “Aku sangat menyesali keadaan ini. Tapi, kita harus percaya saja. Kita akan menemukan Mac Harmon saat perjalanan menuju pabrik.”

“Masih belum ....”

Eniyan memotong. “Jangan terlalu khawatir sih, pasalnya orang yang seperti kalian berdua tidak akan sanggup tersesat jauh. Apalagi Mac Harmon yang dari lahir sudah tinggal di Inutilia. Tersesat tentu sering baginya, tapi dia selalu bisa melewati itu semua.”

“Tapi bagaimana kalau dia mati dimakan kucing raksasa itu?”

“Kucing raksasa itu tidak membunuh, dia hanya mengusir.”

Paham sudah. Setidaknya hatiku sedikit tenang. Bersyukur karena Mac Harmon masih selamat? Tidak juga sih, lagi pun aku baru mengenalnya. Menurutku kalau dia mati aku ‘kan biasa-biasa saja. Cuman ya itu, kalau dipikir kadang kasihan juga jika dia mati dengan cara dibunuh.

“Sudah makannya?”

“Oh sudah, eh memangnya kamu tidak mau makan?” tanyaku. “Oke cukup, tidak jadi,” sambungku lagi. Aku teringat kalau Eniyan pernah bilang dia tidak butuh makan. Tidak jelas sih dia itu sejenis makhluk apa. Namun, aku yakin kalau dia cantik. Bagaimana kalau jelek? Berhenti, seharusnya orang sepertiku tidak harus mempermasalahkan wajah.

Eniyan menggenggam tanganku. Tidak tahu kenapa, bentuk emosi lain muncul dalam diriku.

“Kenapa kau tersenyum aneh seperti itu? Dasar si rambut gondrong berwajah jelek.”

Dadaku terenyak. Tak sanggup membuka mulut. Ada pun usaha untuk membela, alhasil malah tergagap.

Eniyan berdengkus tak sedap. “Sudah ayo,” katanya. Tidak bernada sarkas tapi terkesan jijik kepadaku.

Aku mengikuti langkahnya. Suasana hatiku hancur, baru saja dibuai ke langit. Seketika ditimpuk batu sampai kepalaku remuk. Pelajaran baru untukku, jangan mudah percaya pada Eniyan.

“Kau tahu, setiap kali aku bertemu para Mrs. Mereka selalu bilang kalau aku cantik. Dan kau juga, sepertinya kau terpesona melihat kecantikanku. Ya tentu, jika kau punya mata.”

Aku menggigit bibir bawah. Jika saja tidak sedang membutuhkan perempuan ini. Bisa jadi aku sudah mengambil jalan pintas dan memilih untuk berjalan sendiri. Kepalaku ingin pecah, mulut besar Eniyan kembali berkicau, “Bukan cuma cantik, aku juga pintar. Waktu itu, aku pernah menipu kucing raksasa. Aku terlalu sempurna, bukan?”

Aku berhasil menepis tangannya. Kesabaranku terkuras habis. “Bisa kau diam? Tidak ada yang pernah bilang kalau kau itu cantik, tidak ada yang pernah bilang kalau kau itu pintar. Aku saja menggagapmu jelek dan tolol. Jadi, berhenti bermulut besar!”

Eniyan terkekeh meremehkan. “Si buruk rupa yang tidak punya mata. Mana tahu kecantikanku.”

“Aku akan menghajarmu.”

“Percuma kau tidak bisa melihatku.”

Plak ..! Gedebuk ...!

“Argh ..!” jerit Eniyan saat aku berhasil memijak perutnya.

“Di mana mulutmu? Aku ingin menghajarnya!”

Eniyan tidak bersuara. Mungkin dia takut lokasi mulutnya ketahuan? Bisa jadi, tapi sebelum itu.  Cukup batas sini menghajarnya. Namun jika dia mengulanginya lagi, aku tak segan berperilaku sama.

Puas sudah menyiksa tubuh lemah dan sombong itu. Ets, aku tidak boleh bersantai lebih dulu. Bisa jadi Eniyan melakukan serangan balik. Meskipun aku pikir, dia tidak akan sanggup bergerak karena masih terlalu lemah.

Tidak berhenti di situ, ternyata Eniyan juga tidak sanggup membuka mulut lebarnya. Sangat bijak ketika memutuskan menghajarnya hingga belur. Ah tidak tahu, Eniyan tidak bisa makan. Mungkin dia juga tidak bisa mati.

“Darah, mulutku mengeluarkan darah.”

Aku tersenyum puas. Baru ingat kalau sebelumnya sempat merasa memukul bibir.

“Aku butuh lebih banyak darah. Aku mau kenikmatan lebih. Hei, kau bisa berdarah, kan? Aku mau isi kepalamu, membuyarkan isi perutmu.”

“Eniyan, kau kenapa?” tanyaku mulai merinding.

“Kemarilah.”

Badanku terkesiap. Pergelangan kakiku dicengkeram erat olehnya. Aku berusaha membebaskan diri. Begitu berhasil, langsung berlari meninggalkan perempuan mengerikan itu. Tidak tahu arah, yang penting lari.

Dalam pikiranku, aku membayangkan Eniyan yang sedang terseok-seok mengejar. Kalau begitu, benar keberuntungan aku memukulnya telak hingga tak berdaya. Kalau tidak, aku sudah mati dibunuh Eniyan yang berjiwa psikopat.

 Kalau tidak, aku sudah mati dibunuh Eniyan yang berjiwa psikopat

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

***

Dhrueosgskahebwoajaajskqka sjdjdjs jsuwtdjdj oajsjsb.

Vote! Comment and

Saving Mosquito [TELAH TERBIT]Where stories live. Discover now