Epilog

43 20 2
                                    

Chenle menatap ke luar. Kacamata hitam yang menyembunyikan lebam di kedua matanya menyentuh permukaan kaca jendela pesawat. Matahari terang benderang, namun perasaannya sama sekali kelam.

Kali ini kepergiannya akan jauh. Dan untuk waktu lama. Kecelakaan yang nyaris telak itu memaksa orangtua Chenle untuk memindahkan putra mereka ke luar negeri.

Mencabutnya dari lingkungan pergaulannya yang sekarang, begitu alasan Eomma dan Appa. Biar Chenle nggak berhubungan lagi dengan teman-temannya yang brengsek. Meski, bagi Chenle, itu lebih terasa seperti mengucilkannya.

Chenle menyentuh rahangnya. Kemudian meringis. Dia ingat kemarahan di wajah Dion saat menghajarnya beberapa hari lalu, begitu sepupunya itu mendengar berita tentang kecelakaan naas tersebut dan datang ke rumah mencari Chenle.

Awalnya Chenle masih sempat menyarangkan satu pukulan di wajah Renjun. Tapi terus Renjun membalas dengan menyarangkan tendangannya di wajah Chenle.

”Ini untuk Areum!” bisiknya geram.

Dan entah mengapa ucapan itu membuat Chenle kebilangan keinginan untuk membalas. Dia sama sekali kehilangan minat untuk melawan. Dia tidak melihat gunanya. Yang diinginkannya adalah meminta maaf ke pada Areum. Tapi itu pun, dia tahu, nggak bakal pernah dilakukannya.

Chenle nggak peduli dirinya disebut pengecut. Dia nggak peduli dirinya disebut brengsek, bedebah, bangsat, apa saja. Yang jelas dia tidak akan memberi Renjun kepuasan dengan menunjukkan penyesalan.

Apalagi meminta maaf! Karena itu dia meminta maaf kepada Areum dengan satu satunya cara yang diketahuinya: membiarkan Renjun memukulinya, membalaskan setiap luka yang telah ditimbulkannya pada diri cewek itu. .

Renjhn terkesiap saat menyadari Chenle hanya meringkuk pasrah tanpa melawan. Dia menghentikan serangan. Napasnya ngos-ngosan. Ditatapnya nanar wajah sepupunya itu.

”Kenapa berhenti?” tantang Chenle dengan tatapan menghina.

”Ayo pukul gue sampai puas! Buktikan lo nggak berbeda sama gue! Sama sama binatang!”

Renjun terdiam. Terkejut. Dengan segenap kekuatan dia mengendalikan diri. Dia mengertakkan rahang. Lalu meninju dinding tepat di sisi kepala Chenle.

Sekeras-keras nya. Kemudian meninggalkan tempat itu. Tidak, jelas sekali Renjun tidak ingin terperangkap dalam badai kebencian Chenle. Tidak lagi. Tidak setelah kejadian yang nyaris merenggut nyawa Areum.

Ah. Areum.

Chenle mendesah.

Sekali lagi dia memandang ke luar jendela. Kepada gumpalan awan putih gendut di bawah badan pesawat.

Aneh, pikirnya. Betapa kosong rasanya sekarang. Betapa hampa. Ke mana perginya semua kebencian itu? Dendam itu?

Perasaan menang yang dirasakannya saat Renjun tersadar bahwa Chenle menolak melawan dan memasrahkan dirinya sebagai pelampiasan kemarahannya? Perasaan marah saat Renjun kemudian pergi dan meninggalkannya begitu saja? Ke mana semua perasaan itu?

Chenle bergidik.

Tiba-tiba perasaan dingin seolah menjalari punggungnya.

Ah, sepi ini. Sepi yang mengiringi perasaan menyesal yang tak mungkin diakuinya ini. Sepi bernama Areum ini...

Betapa dalam.

Betapa menyesakkan.

_____________________________________________

THE END.

Thanks yang udah mampir, yorobun.
Meskipun banyak kekurangan aku nulis, dan view cerita ini sedikit. Tapi ttp aku berusaha beresin. Gk enak kalo berhenti tengah jalan.
Kalo suka Share ya!

Salam manis,

Author

Puzzle Love | ENDDonde viven las historias. Descúbrelo ahora