Part 19

102 8 2
                                    

Aku depresi. Padahal baru sebulan aku tidak melakukan aksi. Tetapi aku telah merasakan dampaknya dalam hidupku. Setiap malam, mimpi buruk menghantuiku, mimpi buruk tentang ayahku yang menyiksaku dan ibuku. Oleh sebab itu aku tidak ingin tidur. Aku insomnia. Pekerjaan di kantor menumpuk karena aku tidak bisa konsentrasi.

"Ndre... Sayang, kamu tidak apa-apa?" ujar Bella, ia memegang dahiku, "Kau tidak demam... Malam ini kamu tidak bisa tidur lagi?"

"Jangan kuatir sayang, aku tidak apa-apa," bisikku. Bella menciumku lembut. Aku baru sadar bahwa ia membawa Lea di pelukannya, "Lea, ayo sapa Daddy-mu dulu."

Bayi itu tersenyum padaku, "Daddaaa..." Aku terpaku. Keringat dingin mengalir di tubuhku, secara tiba-tiba.

"Lihat, dia bisa memanggilmu, Sayang," ujar Bella senang, "Ini pertama kalinya..."

"Maaf, Bella. Bisakah kau taruh Lea di kamarnya?" ujarku dingin.

"Apa? Kenapa?"

"Aku hanya ingin istirahat," jawabku dingin. Bella tampak bingung tapi ia menurutiku membawa Lea ke kamarnya.

Lea tidak bersalah. Aku tahu jelas. Tetapi aku juga tidak dapat menyangkali bahwa... ia mengingatkanku pada masa kecilku yang buruk... pada diriku sendiri... Dorongan itu muncul lagi. Dorongan untuk membunuh. Tidak. Aku harus melawannya. Aku harus mampu hidup normal. Demi Bella dan demi Lea...

Sore hari.

"Bella, aku keluar sebentar ya," tiba-tiba aku sudah berpakaian lengkap dan membawa kunci mobil. Aku bahkan tidak sadar kapan melakukan hal itu.

"Mau kemana sayang? Ini kan hari Sabtu."

"Mencari udara segar," jawabku, "Sampai nanti."

Aku keluar seperti robot yang sedang digerakkan oleh remote control. Aku mengemasi peralatanku dalam kotak, menyalakan mesin mobil, dan pergi dari rumah.

TWOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang