23. Kintan

37 6 0
                                    

"Sudah selesai anak-anak?" tanya Pak Soleh.

"Sudah Pak" jawab kami.

"Aksen, saya sudah menemukan. Maaf sudah menuduh kamu belum mengumpulkan" kata Pak Soleh.

"Tidak papa Pak, saya mengerti" kata Aksen.

Walaupun tegas dan mudah marah, sebenarnya dia tipikal guru yang mudah meminta maaf jika ia merasa bersalah.

Itu yang membuat kami para murid segan sekaligus takut padanya.

"Baik, sekarang koreksi dulu pekerjaan tadi" kata Pak Soleh mulai menjalankan kewajibannya.

Sementara di taman belakang...

"Lo jangan main-main sama gue!" bentak Kintan.

"Main-main apasih" kata orang itu, orang yang sama saat ditemuinya di belakang lab.

"Gue sayang sama Semesta. Jangan bawa-bawa dia lebih jauh" ancam Kintan.

"Kok kesannya lo atur-atur gue sih" kata Orang itu.

"Apa yang lo sama Gibran lakuin kemarin. Katanya lo mau bilang ke gue semuanya. Mana!?" tanya Kintan.

"Sabar Kintan sayang. Semuanya ngga segampang yang lo kira. Lo tenang aja" kata orang itu.

"Mana bisa gue tenang. Jangan libatin Semesta lagi! " pinta Kintan.

Orang itu mencengkeram dagu Kintan. Dan berbicara tepat di depan wajah Kintan.

"Lo mau mohon-mohon pun, gue ngga bisa. Semesta udah terlanjur terlibat. Lo tinggal nunggu waktu" katanya lalu pergi setelah menghentakkan Kintan.

Kintan terduduk lemas.

"Apa ini salah gue? Gue ngga mau dia kenapa-napa Tuhan" gumamnya lirih.

Apa ini salahnya karena sudah bersepakat dengan Kak Gibran?
Apa dia tidak bisa menarik kembali kata-katanya?

Flashback on

"Kak Gibran" panggil Kintan.

Gibran kaget dan menoleh.

"I-itu ke-kenapa kain pelnya merah kak?" tanya Kintan.

"Juice Strawberry gue tumpah" kata Gibran berusaha menyembunyikan.

"Tapi i-itu kaya bukan juice. Baunya juga amis kak" kata Kintan.

Gibran geram dan terpaksa menyeret Kintan ke gudang. Dia membuang asal kain pel tadi.

Lihat, tangan Gibran pun masih merah darah karena dia baru saja membersihkan darah  yang ada di rooftop.

"Lo pacar Semesta kan?" tanya Gibran setelah mengurung Kintan dengan kedua lengannya dan menyandarkan ke tembok.

Kintan ketakutan.

"Jawab!" bentak Gibran.

"I-iya k-kak" jawab Kintan.

"Menurut lo ini apa?" tanya Gibran menujukkan tangannya.

"Darah" ucap Kintan pelan.

Bugh

Kintan hampir mati jika Gibran salah sasaran. Dia menonjok tembok persis di samping wajahnya.

Nafasnya sudah tak beraturan.

"Darah ini. Semesta mungkin selanjutnya" kata Gibran.

"Apa maksud kakak?" tanya Kintan.

"Dia akan keluarin darah sebanyak itu juga. Tapi dia bakal aman kalo lo mau sepakat sama gue" kata Gibran.

"Sepakat apa?" tanya Kintan.

"Lo tutup mulut soal darah ini dan bantuin gue sama temen gue" kata Gibran.

"Bantu apa kak?" tanya Kintan.

"Gue bakal kasih tau lewat chat. Intinya lo setuju apa engga!" bentak Gibran.

"Kakak janji ngga apa-apain Semesta kan?" tanya Kintan.

Gibran mengangguk.

"Oke, aku mau" kata Kintan.

Flashback off

Di depan Gibran dan teman Gibran, dia memang setuju. Namun dibalik itu, sebenarnya dia mengubah tindakannya.

Seperti beberapa hari yang lalu, saat dia bertengkar dengan Semesta karena dia merengek minta jalan berdua.

Sebenarnya Kintan mencegah Semesta pergi karena dia tau Semesta akan ke bar bersama Gibran.

Malamnya, dia juga pergi ke bar itu. Dia sengaja mengganti pesanan Gibran dengan kadar alkohol tinggi. Agar Gibran tidak bisa menjalankan rencananya.

Dia lega saat pacarnya memesan alkohol kadar rendah dan tidak melakukan having sex pula.
Kintan tau, Semesta tidak bodoh.

Sebenarnya dia juga senang saat Semesta akrab dengan Rich. Dia tau segalanya, yang Semesta lakukan dengan siapapun. Termasuk saat Semesta memeluk Zaron di rooftop.

"Sekarang gue harus apa? Gue ada di kedua sisi." kata Kintan tergugu.

Anonymous Letter ✔ endWo Geschichten leben. Entdecke jetzt