7 - How to Not Fall in Love?

Start from the beginning
                                    

"Lantai berapa, sih?" tanyanya begitu teleponnya tersambung.

"Satu," jawab Evelyn. Samar-samar Wira mendengar suara gema halus yang timbul di belakangnya.

"Lantai satu?" Wira menyipit memperhatikan papan penunjuk yang ada di seberang. "Ini lantai satu. Kenapa nggak ketemu?"

Dalam hati ia merutuki mall yang terlalu luas ini. Jujur saja ia sudah berjalan memutar hingga dua kali, kalau ia harus memutar sekali lagi Wira berjanji ia tidak akan nge-gym selama sebulan karena mungkin kalorinya sudah terbakar habis hari ini.

Dari kejauhan, Wira melihat sebuah pintu di tengah dinding putih terbuka separuh. Evelyn melongokkan separuh badannya keluar dari pintu itu. Ia kemudian berkacak pinggang tanpa melangkah keluar ketika dari kejauhan menemukan Wira berdiri celingukan seperti pria tolol. Keduanya masih dengan posisi ponsel yang menempel ketika akhirnya bertemu pandang. Walaupun tidak keluar, Wira dapat melihat Evelyn dengan jelas dari tempatnya berdiri.

Wira mematikan teleponnya. Dengan langkah lebar ia mendekat pada pintu itu. Ketika sudah berjarak beberapa meter, Wira merasa ia tidak seharusnya lulus SD karena tidak bisa membaca tulisan hitam bertuliskan 'The Eve' di sepanjang dinding dari kayu dan triplek itu. Dari tadi ia ke mana saja? Bagaimana ia bisa melewatkan tempat ini padahal Wira yakin sudah memutarinya dua kali?

"Lama banget, sih? Sam bilang katanya kamu udah nyampe dari tadi, tapi nggak dateng-dateng sampe hampir setengah jam," gerutu Evelyn. Ia melirik jam tangan yang melingkar di tangan kirinya, berharap janji temunya bisa selesai lebih cepat agar Rafka tidak menunggunya terlalu lama. "Saya, kan, udah bilang kita nggak bisa lama-lama."

"Iya, iya, sorry," Wira menjawabnya dengan pasrah. Ia hanya mengekori Evelyn, berjalan mendekati meja panjang berwarna putih yang menjadi satu-satunya furniture yang ada di ruangan itu selain lima kursi kerja.

Sam sudah siap dengan laptop Trini yang menyala, siap untuk memberikan presentasi kebut semalamnya pada Evelyn. Wira sendiri memilih untuk duduk di sebelahnya, ikut menyimak penjelasan Sam pada Evelyn.

"Gambaran ini masih agak rough, berhubung elo-nya cuma ngasih waktu singkat pake banget buat ngegambarin ide yang kemarin elo mau," ucap Sam setelah Trini membagikan print out RAB pada Wira dan Evelyn. Ia menunggu hingga kliennya itu duduk dan siap untuk memberikan perhatian untuknya.

Evelyn terkekeh kecil mendengar ucapan Sam. "Saya nggak ada pilihan lain."

"Sesuai dengan yang elo minta kemarin, bakal ada tiga ruangan utama. Display store, VIP Lounge, sama ruang karyawan, tapi kayaknya setelah hari ini gue dateng langsung ke sini, gue harus bikin penyesuaian lagi sama ukurannya yang tentunya nanti akan berpengaruh ke hitung-hitungan RAB ...."

"Ini lebih sempit atau lebih lebar dari bayangan elo?" potong Wira.

"Tadi sebelum elo dateng gue ukur, ternyata lebih panjang dari perkiraan gue. Tapi, gue yakin nggak jauh beda dari rancangan yang sekarang, jadi elo nggak perlu khawatir."

Wira mengangguk. Sam kemudian melanjutkan presentasinya tentang display room toko ini yang ia buat mewah dengan dominasi warna putih, rose gold, dan hitam. Nantinya ia juga akan membuat sekat dari batu alam yang akan menghubungkan ruangan ini dengan ruang perkerja dan ruang VIP.

Wira melirik Evelyn yang memperhatikan Sam dengan raut wajah serius. Perlu Wira akui, kinerja Sam lumayan bagus. Sepertinya ia tidak salah merekomendasikan Sam pada Evelyn.

Wira kemudian terdiam. Kalau dilihat-lihat, sepertinya penampilan Evelyn hari ini sedikit berbeda. Dua kali bertemu Evelyn kemarin—selain malam di apartemen itu tentunya, ia selalu melihat Evelyn mengenakan baju semi-formal dan make-up tebal. Sebenarnya hari ini juga sama dengan kemeja dan rok di bawah lutut, sih, tapi apa yang membuatnya berbeda, ya, sehingga tidak terlihat seformal kemarin? Apakah mungkin tatanan rambutnya? Atau memang warna bajunya yang terlihat lebih cerah?

"Ehm, jadi, menurut lo gimana, Wira?" tanya Sam dengan sengaja menekankan kata 'Wira'. Ia menaikkan kedua alisnya, menunggu jawaban dari Wira yang baru menoleh ke arahnya ketika namanya disebutkan.

Wira tersenyum diplomatis. "Menurut gue udah oke. Elo seharusnya tanya pendapat owner-nya apa dia puas dengan gambaran lo barusan tentang ruang VIP."

Cuih. Sam benar-benar ingin meludahi muka Wira yang terlihat sok-sokan profesional. Ia memergoki Wira sama sekali tidak memperhatikan dirinya berbicara dan malah sibuk memandangi Evelyn seolah Evelyn ini merupakan temuan teknik dan desain terbaru tentang modular house. Sam mau tak mau mengunci mulutnya rapat-rapat dan beralih pada Evelyn.

"Saya juga oke, hanya ingin ganti model sofa yang lain. Yang mewah dan genderless. Saya pikir itu terlalu princess-like." Evelyn mengucapkannya sambil menunjuk gambar sofa yang tadi Sam gambarkan.

"Gue pikir karena orang-orang manggil elo Princess, lo bakal suka model yang girly kayak gini. Akan lebih menampilkan citra Princess elo di mata publik."

Evelyn menggeleng sambil terkekeh. "Saya nggak tau mereka dapet ilham manggil saya princess dari mana. Walaupun umumnya target pasar saya wanita, tapi saya yakin dunia ini bakal evolving. Pria juga bisa koleksi perhiasan kalau mereka mau. Saya nggak mau para pria gengsi untuk beli perhiasan di The Eve."

"Lo mau pria-pria pakai cincin dan kalung emas yang blink-blink?" tanya Sam agak terkejut dengan pernyataan Evelyn. Sam agak ngeri membayangkan dirinya mengenakan liontin emas putih berbentuk heart warna pink yang akan berkilau ditimpa cahaya, sepasang dengan cincin yang melingkar di jarinya.

"Perhiasan, kan, nggak limited soal itu, ada customized jam tangan, penjepit dasi, cufflinks juga. There's a lot more!" bela Evelyn. "Pria bisa kok pakai perhiasan tanpa harus melunturkan sisi maskulinitas mereka."

Sam kemudian terdiam, agak merasa malu dengan pertanyaan yang ia ucapkan tanpa pikir panjang. Ia tidak seharusnya bersikap careless seperti ini kepada kliennya. Evelyn punya poin. Ia saja yang berpikiran terlalu sempit.

"You're right, I apologize."

Evelyn tersenyum senang ketika Sam mau memahami maksudnya dan tidak memandang rendah, seolah-olah Evelyn adalah alien yang tidak seharusnya tinggal di bumi.

"Kamu bisa kasih input pandangan kamu dari sisi pria tentang toko perhiasan," ucap Evelyn sambil memandang Wira dan Sam bergantian, meminta persetujuan dari keduanya.

Sam mengangguk, "Noted."

Wira mengangguk samar. Evelyn ... lagi-lagi memberikan kesan yang berbeda dari yang kemarin. Juga kemarinnya lagi. Tiba-tiba saja ia merasa bangga Evelyn bisa membuat Sam yang terkenal bebal dan suka mengonfrontasi sesuatu apabila tidak cocok dengan pemikirannya itu mengangguk setuju dan meminta maaf? Wira ingin tertawa melihat ekspresi Sam saat ini. Tidak terlalu cocok dengan kepala botak dan tampang preman pasarnya.

Tiba-tiba saja terdengar suara pintu kayu diketuk, kemudian dibuka dari luar. Seorang pria melongokkan kepalanya, melihat ke dalam.

"Eh, hai, Raf!" Evelyn seketika berdiri ketika menemukan Rafka benar-benar berada di sana. Ia menoleh ke arah Sam. "Sebentar, ya?"

Setelah mendapat anggukan dari Sam, Evelyn turun dari kursinya, berjalan mendekati Rafka untuk mempersilakannya masuk.

Oh astaga, semoga Rafka tidak menyadarinya. Otot bibir Evelyn rasanya langsung otomatis tertarik ke kiri dan ke kanan ketika menyadari keberadaan Rafka. Ruang kosong The Eve yang seharusnya terkesan dingin dan kaku ini tiba-tiba terasa seperti sedang mengalami musim semi. Ia bisa merasakan rasa panas menjalar ke pipi hingga wajahnya. Semoga makeup yang ia kenakan saat ini mampu menutupinya. Ia telah membayar mahal untuk makeup wajahnya hari ini.

Sedikit salah tingkah, Evelyn menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga. Ia mulai mengatur napas dan ekspresinya. Evelyn seorang aktris papan atas, yang aktingnya dipuji-puji oleh masyarakat Indonesia, tentu hal ini akan menjadi mudah.

***

How To End Our MarriageWhere stories live. Discover now