Ruang

270 42 6
                                    

Hari ini ada yang sedang duduk di taman depan rumah bercat putih itu. Kina sedang berkunjung ke kediaman Sam membicarakan rute perjalanan mereka selanjutnya. Tapi bukan Kina dan Sam namanya kalau pembicaraannya tidak melenceng ke mana-mana dan selalu lebih berat dari permasalahan yang sebenarnya.

Seperti sekarang ini,

"Kamu pernah punya pikiran kalau sekolah itu cuma buat kamu makin bodoh aja nggak, Na?"

Kina menatap Sam lama. Ia mencoba mencari arti di kalimat laki-laki itu. "Maksud kamu bodoh dalam berpikir ya, Sam?"

Sam mengangguk. Ia menyender di bangku taman. "Kayak nggak punya kebebasan berpikir, Na. Kamu pasti paham."

Kina terkekeh. Masih ingat sekali ketika pendapatnya disalahkan guru ketika SMA padahal ia tahu apa yang ia katakan adalah benar hanya karena yang memihak pada jawabannya tidak ada. Kina masih ingat itu. "Semua dituntut harus seragam ya, Sam. Padahal jawaban atas sebuah pertanyaan ada lebih dari satu."

Ada remaja berseragam putih biru lalu-lalang di depan rumah Sam. Mengingatkannya masa-masa duduk di sekolah mengisi absen dengan pikiran yang berkelana jauh di luar gerbang sekolah.

"Padahal buku panduan ada macam-macam juga kan, Na. Tapi kebanyakan semua pendapat kita harus sama dan jawaban paling banyak selalu dapat nilai yang lebih tinggi."

Kina meneguk jus mangga di hadapannya, memberi jeda pada pembahasan itu. Membiarkan Sam berpikir kembali.

"Masih ada kok, Sam, yang mau terbuka menerima pendapat anak didiknya yang beda-beda."

Punggung Sam beranjak dari sandaran kursi, ia menyanggah, "Kalau aku bilang banyak yang monoton, aku bakal dimasukin ke penjara nggak, ya?"

Kina terkekeh. "Itu kamu udah bilang, Sam."

"Kamu pasti tahu maksud aku apa, Na. Aku nggak menyalahkan pendidik yang terkesan nggak open minded karena aku tahu jadi pendidik itu nggak mudah, tapi aku cuma sedih aja ada yang terpaksa harus bungkam dan harus ikutin pendapat kebanyakan orang buat dapatin nilai yang sempurna."

Kina mengangguk paham, ia pernah ada di posisi itu. Terpaksa mengikuti jawaban teman-temannya padahal ia punya jawabannya sendiri hanya karena ia tahu nilainya akan jauh ada di bawah mereka. "Aku juga cuma benci aja sama diriku sendiri yang malah ikutin pendapat orang lain, Sam. Padahal aku bisa menyuarakan pendapat aku sendiri. Aku bisa, tapi selalu ada di posisi itu jadi buat aku terbiasa memendam apa yang mau aku utarakan."

"Yang sekarang udah aku pahami Na, kita selalu bisa buka ruang diskusi buat diri kita sendiri. Kalau orang lain nggak bisa menerima itu, itu hak mereka. Dan hak kita juga untuk buat semuanya jadi terasa melegakan."

Dan remaja-remaja tanggung itu semakin ramai berkeliaran di sekitaran kompleks perumahan Sam. Seperti kupu-kupu yang baru saja dikeluarkan dari stoples yang memenjarakannya. Bebas.

***

—ars
0:27 AM, May 1st, 2020

The Deep TalkWhere stories live. Discover now