Perihal Hidup

160 27 6
                                    

"Hidup, tuh, memang begitu, ya, Sam?"

"Begitu gimana, Kina?"

Kina mengembuskan napasnya. Berat. Ada banyak jenis perasaan buruk yang sedang ia simpan. Entah bagaimana caranya untuk mengusir segala perasaan menyebalkan itu, tapi yang pasti, ia sudah lelah.

"Kamu pernah nggak, Sam, mikir kalau semuanya lebih baik berakhir aja daripada harus ada di suatu ruang yang makin hari makin bikin kamu sesak? Toh, sama-sama akan berakhir juga."

Samudera melirik perempuan itu. Perempuan yang bahkan tidak pernah bisa ia tebak isi kepalanya. Semuanya gelap dan penuh teka-teki.

"Nggak, Kina. Kalau aku menyerah di awal, berarti aku kalah. Berarti aku pengecut. Kadang, apa yang kelihatan berat, tuh, justru sebetulnya punya sisi paling baiknya. Tugas kita cuma itu, menemukannya. Bukan menyerah."

Lagi-lagi, Kina menghela napas. "Sepanjang hidup kamu, kamu pernah berpikir buat menyerah, Sam?"

Samudera tersenyum kecil. Ia kemudian menjawab, "Kalau aku nggak pernah punya pikiran untuk menyerah, berarti aku bukan manusia, Kina. Tapi kenapa aku masih ada di sini? Karena masih ada banyak tempat yang harus kukunjungi. Masih ada banyak tempat yang harus kutemukan dan kujadikan rumah. Sesederhana itu aja, Kina. Setiap pikiran untuk menyerah itu menghantui kamu, pikirin satu hal kecil yang mati-matian kamu doakan sejak lama tapi belum terwujud sampai sekarang. Itu aja dulu. Setidaknya hal kecil itu bisa jadi alasan paling kuat kamu untuk bangun sebuah keberanian lagi."

Kina diam. Samudera tahu bahwa perempuan itu sedang berusaha mencerna ucapannya. Sebab di balik sifatnya yang keras kepala, perempuan itu adalah seorang pemikir. "Untuk hidup di kehidupan yang seperti ini, kita memang harus jadi berani, Kina. Berani mengambil risiko, berani untuk tenggelam di dalamnya. Karena yang seperti kita tahu, hidup selalu punya teka-teki yang nggak pernah ada habisnya. Dan kita selalu dituntut untuk menerima apa pun bentuk teka-teki itu," ucap Sam kemudian.

"Mungkin aku cuma lagi capek aja, Sam."

Samudera mengangguk. "Atau bisa jadi... kamu takut, Kina. Kamu takut menghadapi apa yang ada di depan kamu. Kamu belum siap untuk menerima apa pun bentuk kejutan itu."

Kina tersenyum miris. Ia menundukkan kepalanya. Bahunya bergetar menahan tangis. Samudera tahu bahwa perempuan itu rapuh. Sangat rapuh. Tapi ia bersembunyi di balik topeng keras kepalanya.

Samudera menepuk pundak Kina halus, kemudian berucap, "Nggak apa-apa, Kina. Semua bentuk ketakutan itu, itu nggak apa-apa. Wajar untuk dirasakan manusia. Justru akan jadi sebuah pertanyaan kalau hidup nggak pernah diisi dengan sebuah ketakutan."

Lihat, laki-laki itu selalu punya mantra ajaibnya sendiri.

—ars
July 10th, '21

The Deep TalkOnde as histórias ganham vida. Descobre agora