Wattpad Original
There are 5 more free parts

Bab 02: Indra Andaru

79.8K 8.3K 848
                                    

Menjadi seorang asisten CEO itu tidak mudah, terlebih lagi orang itu Putra Mahesa. Dituntut menjadi sempurna dalam setiap pekerjaan menjadikanku pria yang kaku dan tegas. Bukannya aku tidak sadar bahwa banyak karyawan lain yang menganggap diriku seperti kanebo kering, terlalu kaku dan menyebalkan.

"Indra, apa hari minggu nanti saya ada acara?" tanya Putra padaku.

"Hanya ada undangan ke acara pernikahan salah satu karyawan Pak," sahutku sambil mengikut Putra masuk ke dalam ruangannya.

Aku menyerahkan sebuah undangan yang tadi diserahkan sekretaris di depan. Putra membuka undangan tersebut, menelitinya sejenak. Dia kemudian menatapku dengan alis bertaut. "Kamu pergi sendirian kan? Bareng sama saya dan Wika saja," pinta Putra.

"Hari Minggu itu hari libur saya Pak," jawabku membuat Putra tertawa pelan. "Bapak bisa cari sopir lain, atau Bapak saja jadi sopir Bu Wika," tuturku berani.

Putra tertawa mendengar penuturanku. Dia menganggukkan kepalanya paham seraya berkata, "Kamu seperti akan pergi dengan perempuan saja, Ndra."

Manusia satu ini memang sangat tajam intuisinya. Dia bisa menebak banyak sekali pemikiranku, padahal aku sudah memasang wajah sedatar mungkin. Bersikap profesional jangan ditanya, sudah pasti ku lakukan.

Berbicara soal perempuan, aku jadi ingat dengan chat masuk tadi saat makan siang. Seorang bernama Belinda dari divisi HR mengajakku untuk pergi bersama hari Minggu nanti. Karena memang aku tidak ada pasangan dan aku tidak mau menjadi obat nyamuk Putra Mahesa dan istrinya, lebih baik aku menerima tawaran tersebut.

"Ya. Saya sudah janjian dengan karyawan divisi HR," jawabku.

Putra melotot padaku, bibirnya sedikit terbuka. "Ngehayal kamu, Ndra?" sindirnya.

Punya atasan kok ya seperti ini sekali? Kadang-kadang suka nyebelin emang.

"Maaf Pak, saya ini tidak kalah tampan dari Bapak. Tidak perlu lah Bapak berekspresi seperti ini." Aku meletakkan sebuah map cokelat tua di depan Putra.

Kepala Putra menggeleng pelan, tangannya bergerak membuka map cokelat yang aku berikan. "Saya nggak tahu kalau tingkat narsisme kamu sudah bertambah. Jangan terlalu banyak bergaul dengan Kak Dena," nasihatnya yang tidak aku tanggapi.

Aku masih berdiri menunggu Putra selesai memeriksa berkas yang memang urgent tersebut. Aku sudah cukup lama bekerja dengan keluarga Mahesa, lebih tepatnya semenjak tamat dari sekolah menengah atas. Awalnya aku hanya seorang sopir mendiang orang tua Putra, hingga aku bisa melanjutkan pendidikan sambil bekerja.

Saat Putra menjabat, aku menjadi sopir Putra. Satu tahun kemudian dia mengangkatku menjadi asistennya. Bisa dibilang aku berhutang banyak pada keluarga Mahesa.

"Kapan kamu akan menikah? Sendirian terus seperti ini membuat saya bertambah takut." Kalimat Putra ini sering dia lontarkan semenjak menikah dengan Wika. Dia pernah mengatakan takut bahwa suatu saat tergoda denganku, sialan bukan?

"Saya tidak bisa menikah karena Bapak," jawabku sekenanya.

Putra mendelik tidak suka, dia mengangsurkan map cokelat yang isinya telah ditanda-tangani. "Kamu membuatnya terdengar seperti kita ini pasangan," gerutu Putra yang tidak aku tanggapi.

Aku lebih memilih mengambil map cokelat tersebut. "Permisi Pak," pamitku keluar dari ruangan CEO.

Aku kembali ke meja di depan ruangan CEO, tidak jauh dariku ada dua meja sekretaris. Terpisah sekat yang membuatku dan mereka tidak begitu saling bersinggungan. Mereka membantuku mengerjakan pekerjaan administrasi, sementara aku dijadikan kacung dua puluh empat jam oleh si Putra Mahesa.

Hello BelindaWhere stories live. Discover now