36 | nyawa juned terancam

Start from the beginning
                                    

Meski sudah sekamar berhari-hari, dan hampir tiap hari disuguhi pemandangan seksi, dia tetap tidak terbiasa kalau perempuan itu tiba-tiba menempel padanya. Rasanya nyawanya seperti disedot Sabrina beberapa tahun. Membuatnya ngeri.

"Oh, ini sih gue yang ngerjain. Tanya gue aja. Paling Karen juga nggak paham-paham banget. Orang baru semalem dia minta datanya."

Zane mengedikkan pundaknya, menyuruh Sabrina menyingkir. "Udah gue suruh ngecek ulang. Punya lo yang terbaru coba dikonsulin ke Iis sekalian, deh, sebelum gue cek lagi. Kali aja doi ada ide biar bisa turun lagi budgetnya."

"Ashiaaap." Sabrina cuma manggut-manggut. "Lo masih lama, ya, meriksanya?"

"Masih. Besok pagi aja lo ngerumpi online-nya. Tiap hari ngerumpi terus, berisik, ngeganggu orang tidur. Dasar cewek!"

"Siapa juaga yang mau ngerumpi." Sabrina mendesah. Meletakkan kembali dagunya ke pundak Zane. Pandangannya lurus ke laptop. Fokus membaca. Karena Zane lama, dia ambil alih mouse dari tangannya. "Masa lo nggak bisa bantu ngestimasiin tamu dari pihak wanita, sih? Kira-kira calon abang lo itu cewek sederhana yang cuma ngundang puluhan atau ratusan orang keluargan dan temen terdekat, kah? Atau cewek sosialita yang ngundang pejabat dan seleb se-ibukota?"

"Nggak tahu gue, dia mau nikah sama siapa juga. Urusan dia, lah. Yang penting duitnya masuk ke kita dulu."

Sabrina berdecak. "Dasar! Adek macam apa?!"

Zane menjauhkan Sabrina sekali lagi dari pundaknya. "Lo baca buku sana lho, atau nonton TV. Jangan gangguin orang lagi kerja."

Sabrina cemberut.

"Jangan nempel-nempel mulu, gue peringatin. Nanti kalo gue bales, paling juga lo kabur ke kamar mandi!"

"Ya jangan, dong. Nanti gue laporin lho, pelecehan terhadap karyawan."

"Elo tuh, yang pelecehan terhadap bos."

"Mana ada yang percaya? Badan lo segede gitu, sementara gue sekecil ini. Gue mah cuma perempuan yang lemah. Tidak berdaya."

Zane ngakak. Sumpah, sarap abis ini cewek. Dulu emaknya ngelahirin dia ngidam apaan, coba?

Sabrina menguap, mulai terlihat bosan.

Zane mendengus. "Biasanya orang abis mandi tuh seger, elo malah ngantuk!"

"Mungkin karena gue lagi stress. Jadi gampang ngantuk. Gadget nggak punya, nggak ada Milo, nggak ada temen. Gue tuh menderita, Zane. Kesepian. Di kurung di tempat sempit kayak gini, cuma ada elo."

Zane tahu Sabrina sekarang sedang pasang tampang sok memelas dengan memajukan bibirnya seperti itu. Tapi dia tetap merasa prihatin. Pasalnya memang sudah berhari-hari dia dipisahkan dengan Milo, juga dengan gadgetnya.

Nah, ini nih, yang tidak Zane sukai kalau sudah berhubungan dengan cewek satu ini. Dia jadi kelewat peka. Amit-amit, deh!

"Lo sakit?" tanyanya akhirnya, dengan wajah sedatar mungkin.

Sabrina menggeleng. "Enggak. Kenapa? Pucet, ya? Nggak pakek lipstik soalnya. Si Juned goblok emang. Makeup gue sengaja nggak dibawain. Maksudnya apa coba? Biar gue kelihatan jelek?"

Zane ketawa, meski agak nggak masuk juga ke nalarnya, kenapa Sabrina butuh makeup di dalam rumah, apalagi di dalam kamarnya. Padahal tidak ada orang lain lagi yang melihat.

"Jangan ketawa. Gue lagi baper, nih." Sabrina merajuk.

"Iya, sorry."

Itu juga Zane nggak suka. Mulutnya jadi lemes banget bilang sorry-sorry. Kayak cowok bucin yang selalu mengalah.

Warning: Physical Distancing! [COMPLETED]Where stories live. Discover now