Sheffasa Deyira Arnezza
Buku tulis di atas meja belajar itu terbuka, menunjukkan coretan-coretan dari tangannya yang indah. Sheffa. Gadis itu kini sedang melamun, memikirkan kejadian yang seharusnya tak dipikirkannya.
Sheffa memang sekarang sedang menulis, tetapi coretan-coretan yang tidak jelas dibukunya itu menunjukkan bahwa ia memang sedang tidak fokus, ia sedang melamun.
Sampai suara ketukan pintu memecah lamunannya.
"Masuk, Bu."
Cklek
Pintu ber-cat putih itu terbuka menampakkan seorang perempuan paruh baya yang masuk sambil membawa makanan 4 sehat 5 sempurna.
"Makan malamnya, Non."
Ya, beliau adalah pembantu di rumah Sheffa, namanya Asih. Perempuan yang sudah berumur 45 tahun itu sudah bekerja di rumah Sheffa selama 17 tahun lamanya. Mempunyai satu anak yang sudah kuliah sekarang.
Jadi, wajar saja bila Sheffa memanggilnya dengan sebutan Ibu, karena Bu Asih sudah mengurus Sheffa sejak kecil, bahkan Sheffa sudah menganggap Bu Asih sebagai Ibunya sendiri.
Sheffa berjalan dari meja belajar ke bibir tempat tidur, lalu menyuruh Bu Asih untuk duduk di sebelahnya. "Sini duduk, Bu."
Bu Asih menurut, beliau berjalan menghampiri Sheffa dan duduk di tempat yang Sheffa tunjukkan. Setelah duduk beliau menyerahkan nampan berisikan makanan itu kepada Sheffa. "Ini Sheffa makan malam dulu."
Bu Asih memang terkadang memanggil anak majikannya dengan sebutan Nona, kadang juga tidak. Karena Sheffa yang memintanya sendiri dengan sebutan nama saja namun terkadang beliau lupa, maklum beliau sudah tua dan terkadang merasa tidak sopan bila memanggil anak majikannya dengan sebutan nama saja.
Sheffa tidak masalah ketika dipanggil dengan sebutan nama saja tanpa embel-embel Nona. Karena menurutnya Bu Asih kan sudah bekerja lama sekali sebelum Sheffa lahir dan mengurus Sheffa dari kecil, bahkan Sheffa lebih dekat dengan beliau daripada Bundanya sendiri.
Melihat Sheffa yang sepertinya sedang banyak pikiran, Bu Asih dengan gerakan pelan tapi pasti mengangkat tangan kanannya untuk membelai rambut panjang Sheffa. "Ada apa, sayang?" ucap Bu Asih sambil tersenyum.
Seperti Sheffa yang menganggap Bu Asih sebagai Ibunya, Bu Asih pun demikian. Beliau menyayangi Sheffa seperti anak sendiri, menganggap Sheffa seperti anak keduanya.
Sheffa menggeleng pelan.
"Ibu tahu kamu sedang ada masalah." Sheffa menaruh nampan yang belum sama sekali dimakannya itu ke atas meja belajar. Dan tiba-tiba Sheffa memeluk Bu Asih membuat beliau terkejut.
Sekarang Bu Asih seperti merasakan pelukan hangat anaknya dulu, dulu sebelum suaminya meninggal.
Bu Asih langsung tersadar dalam lamunannya ketika mendengar isak tangis Sheffa dipelukannya, beliau langsung membalas pelukan Sheffa dan mengusap lembut kembali kepalanya.
Bu Asih menghela napas pelan, Sheffa termasuk orang yang tertutup dan tak banyak bicara. "Terkadang hidup harus kita jalani dan rasakan. Apapun yang sudah terjadi itu namanya takdir dan tidak ada seorang pun yang dapat mengubah takdir yang sudah ditentukan," menjeda sebentar kata-katanya. "Kita hanya bisa berusaha semampu kita bila kita menginginkan takdir itu berubah dan jangan patah semangat bila sudah berusaha tapi belum bisa merubah takdir itu, itu mungkin yang terbaik."
Sheffa mendongak, menghela napas pelan lalu mengangguk. "Makasih, Bu." Sheffa mengecup pipi sebelah kanan Bu Asih, melonggarkan pelukannya, berbaring di atas tempat tidur dan bersiap untuk tidur saja.
Beberapa menit kemudian semuanya masih tetap seperti semula.
Tersadar, Bu Asih langsung bangkit, mendekat ke arah Sheffa di samping tempat tidur. Mengusap lembut puncak kepalanya dan membenarkan selimut sampai sebatas dada. "Sama-sama, sayang."
–FOLLOWYOURHEART–
SEE YOU
NEXT PART
👋💕💕Jangan lupa vote dan commentnya
Instagram : stefieqidelinarosy
YOU ARE READING
FOLLOW YOUR HEART
Teen FictionPLEASE DON'T COPY MY STORY -Ketika hati tak bisa jadi bukti- Sheffasa Deyira Arnezza. Siapa yang tidak kenal dengan gadis cantik, imut dan pemalu ini, gadis yang berhasil menggeparkan satu sekolah di hari pertama masuk sekolahnya. Bahkan para kakak...