6 - How to Be a Good Public Figure?

Start from the beginning
                                    

Wira mengangguk. "Habis ini saya telepon balik. Makasih, Ra."

Perempuan itu pun undur diri dan menutup pintunya kembali.

"I better go," pamit Evelyn. Ia beranjak dari duduknya dan merapikan bajunya agar tak terlihat kusut.

Wira mengangguk, ia ikut berdiri kemudian membawa serta gelas-gelas plastik dan kartonnya keluar ruangan ketika Evelyn keluar.

"Jam berapa kamu pulang?" tanya Evelyn saat Wira membuang sampah-sampah itu di tempat sampah terdekat.

"Mmmm ..." Wira melirik jamnya, "masih dua jam lagi."

Evelyn mengangguk. Ia berjalan dengan bunyi ketukan sepatunya yang beradu dengan lantai.

"Kamu nggak perlu antar saya, saya bisa ke bawah sendiri."

Wira mempertimbangkan ucapan Evelyn sambil meyakinkan diri Evelyn tidak akan tersesat mencari tempat parkir karena memang hanya selemparan batu, kemudian mengangguk pasrah. "Okay, then."

"Thanks for today." Evelyn mengulurkan tangannya, mengajak Wira bersalaman sebelum kemudian keduanya berpisah.

Sepeninggal Evelyn, Wira segera masuk ke ruangannya, memenuhi janjinya untuk balas menelepon Rizal. Tadi pagi ia memang memiliki masalah, tapi ia pikir sudah berhasil ia selesaikan. Tiba-tiba saja hal ini membuatnya khawatir.

"Ada masalah lagi?" tanya Wira begitu Rizal mengangkat teleponnya pada detik pertama.

"Kata Tiara, kopi tadi dari Evelyn Fransiska? Evelyn Fransiska yang artis itu? Beneran?"

Evelyn? Bukan tender? Rasa khawatirnya seketika terasa mubazir ketika mendengar nada excited Rizal saat menanyakan Evelyn.

"Beneran," jawab Wira malas. Ia hampir memutar matanya karena hal ini. Ia kira Rizal menelepon karena ada problem lagi dengan tender baru itu.

"Man! Dia cantik banget! Terus sekarang orangnya mana? Bisa gue foto bareng?"

"Udah pulang."

"Hah?!"

"Udah pulang. Lagian lo ngapain, sih, norak begini? Dia kliennya Bos Besar, tadi ke sini untuk bahas proyek barunya dia."

"Nggak asik, lo! Kalo ada cewek cantik aja lo kekep sendiri, gitu masih jomlo terus. Kasihan," cibir Rizal.

"Ngeselin, ya, lama-lama?"

"Wait? Itu yang di bawah Evelyn?" ucap Rizal tiba-tiba. Wira dapat dengan samar mendengar Rizal membuka penutup jendela. "Sialan itu Evelyn beneran, mereka ngantri foto bareng. Brengsek emang lo, Wir!"

Sambungan telepon seketika terputus, membuat Wira dengan bingung menatap teleponnya. Bagaimana maksudnya? Evelyn antri foto? Foto sama siapa?

Masih dengan bertanya-tanya, Wira kembali berjalan keluar. Ruangannya memang tidak didesain untuk menghadap langsung ke arah pabrik seperti ruangan Rizal dan tim perencanaan.

"Ada masalah apa, Mas?" tanya Tiara, sekretaris Wira yang ikut bingung melihat bosnya berjalan keluar dengan terburu-buru. Ia sampai ikut berdiri karena kaget, tapi bosnya itu tak mengatakan apa-apa. Karena ingin tahu, Tiara memutuskan untuk mengekor di belakangnya.

Begitu sampai di ujung tangga, Wira hanya berdiri sambil memandang ke bawah. Belasan pegawainya sudah membentuk antrian yang berujung pada Evelyn. Wanita itu sedang melayani semua orang untuk berfoto bersamanya seolah dirinya ini badut Ancol. Dan astaga, orang-orang ini bukannya bekerja ....

Sepertinya lagi-lagi ini salahnya. Salah juga ia meminta Evelyn bertemu di sini dan membiarkannya berjalan melalui tangga keluar yang lebih dekat dengan tempat parkir daripada tangga untuk tamu yang melewati pintu depan. Wira mengumpat dalam hati.

"Menurut kamu saya harus turun ke sana, nggak?" tanya Wira pada Tiara yang juga terdiam di sebelahnya.

Tiara meringis. "Kalo Mas Wira mau antriannya nggak makin panjang, kayaknya Mas harus turun. Mas Rizal jelas nggak bisa diandalkan."

Wira merasakan rangkulan di pundaknya, membuatnya menoleh ke samping kanannya.

"Ada apa, sih, kok rame?" Mas Eki, pentolan bagian keuangan tiba-tiba saja muncul dari belakang Wira.

"Kok, elo di atas?" Ruang kerja Mas Eki seharusnya berada di bawah, pantas saja staf-staf keuangan bisa bebas ikut mengantri foto di bawah.

"Abis diskusi sama Mega. Tadi gue naik barengan sama Sam, katanya lo mau ada proyek sama artis, ya?"

Wira berdecak. "Ya, itu sekarang yang bikin rame," tunjuk Wira dengan dagunya.

Mau tak mau ia akhirnya turun ke bawah bersama Mas Eki yang akan kembali ke ruangannya. Ia mendekati antrian itu, menepuk pundak Evelyn dari belakang.

"Sudah, sudah. Evelynnya sibuk," ucap Wira berusaha membubarkan barisan pegawainya itu.

"Yah, saya belum dapet giliran ini."

"Iya, enak yang udah dapet giliran."

Mas Eki menepuk tangannya, meminta perhatian. "Kita foto bareng-bareng aja, oke? Kasihan Evelyn nanti terlambat kalau harus foto satu-satu."

"Kenapa nggak jadi pulang, sih?" bisik Wira pada Evelyn sementara Mas Eki mengatur posisi pegawai-pegawainya.

"Tadi ada yang minta foto, saya nggak mungkin nolak," Evelyn balas berbisik, kemudian meninggalkan Wira begitu saja untuk berfoto bersama.

Setelah fanmeeting dadakan itu selesai, Wira langsung menggiring Evelyn ke mobilnya. Keduanya berjalan bersisian.

"Kenapa nggak kamu tolak aja sih kalau ada yang minta foto? Pura-pura sibuk, kan, bisa?"

Evelyn berhenti di depan mobilnya, kemudian berbalik menghadap Wira yang mau tak mau ikut berhenti.

"Kalau saya terima, memang saya terhambat ke mana-mana. Tapi, coba kamu bayangin kalau saya nolak dan pergi begitu aja? Orang bakal bilang saya sombong, angkuh, dan itu nggak akan cocok sama image baik-baik saya. Saya bisa nggak dapet job offer kalo gitu ceritanya. Ini sudah jadi tuntutan di pekerjaan saya."

Wira sudah menarik napas, bersiap untuk balas melayangkan opini pribadinya. Hampir ia mengumpulkan serentetan protes, tapi akhirnya ia mengurungkan niatnya dan hanya mendesah. Tiba-tiba ia merasa tidak berhak mengatakan apa pun. Ia belum pernah jadi artis, bahkan bersenggolan dengan dunia entertain saja tidak pernah. Bisa jadi memang begitulah bagaimana dunia Evelyn berjalan.

"Saya minta maaf, nggak seharusnya saya minta kamu untuk ketemuan di sini. Juga atas perlakuan teman-teman saya ke kamu," ucap Wira akhirnya.

Evelyn menggeleng. "Mereka tetap nggak tau yang sebenarnya tentang kita. Saya ke sini dalam rangka pekerjaan, begitu juga kamu. Emang udah risiko saya jadi public figure, kalau nggak ada yang ngajak foto, berarti emang saya udah nggak laku."

"Tetep saya akan minta maaf."

Evelyn terdiam menatap Wira. Pria itu tadinya jelas terlihat kesal padanya, namun saat ini raut wajahnya malah terlihat ... merasa bersalah, mungkin? Ia akhirnya memutuskan untuk mengangguk, kemudian membuka pintu mobilnya.

"I'll text you. Sampai ketemu hari Sabtu," ucap Evelyn sebelum meninggalkan Wira yang berdiri di pelataran parkir hingga ia berbelok dan menghilang dari pandangan.


***

How To End Our MarriageWhere stories live. Discover now