Akhir

329 35 0
                                    

Perjalanan menuju Bandung kali ini sedikit membuat saya temenung, sebab kali ini tujuan pulang saya bukan lagi rumah yang sejak kecil saya tempati, tapi rumah mewah Papah.

Mungkin terlalu lebay jika berbicara itu rumah mewah, namun rumah itu memang benar-benar terlalu besar menurut saya, mungkin bisa main futsal di dalam ruang tengahnya.

Dan yang membuat saya tak sabar untuk sampai Bandung adalah pertemuan saya dengan Bia. Saya sudah sangat rindu adik kecil saya, rindu cerewetnya yang hanya untuk saya, rindu pertengkaran kami berdua dan rindu kebersamaan yang membuat kami merasa dunia hanya milik kami.

Bia kecil adalah anak yang pendiam hingga saya kesal dan tak mau bermain bersama dia, jarak usia saya dan Bia memang tak cukup jauh namun perbedaan gender mungkin membuat masa kecil kami tak begitu dekat. Apalagi saat dia sudah sekolah, saya selalu di suruh Ibu yang saat itu bekerja untuk menjemput Bia hingga membuat saya kesal karena harus mengurangi waktu bermain saya dengan teman-teman.

Dia selalu menangis jika bermain dengan saya, entah karena dia tertendang bola yang saya sepak, saya marah-marahi, ia jatuh dari sepeda, atau saya tinggal di taman komplek dan sejak saat itu ia menjuliki saya monsternya karena selalu membuat ia takut. Dulu saya menganggap  dia cengeng, namun semakin dewasa saya makin sadar bahwa yang dilakukan saya pada anak seusia Bia saat itu adalah perbuatan jahat. Namun semua pengalaman itu adalah pengalaman seru yang sering membuat saya tertawa saat mengingatnya.

Bia remaja kini sudah berubah menjadi perempuan tangguh juga perempuan mandiri, sehingga kadang membuat saya menyesal dulu tak pernah menanggapi kemanjaannya. Saya kadang rindu dia yang manja yang selalu bilang "Bia mau itu A Bow..." Kini perkataan itu sudah jarang saya dengar sebab maunya Bia akan selalu ia usahakan sendiri tanpa meminta pada orang lain termasuk saya.

"A Bow tuh nakal, tapi kalau ada temen Bia yang nakalin Bia A Bow bakalan marah. Kata Ibu itu karena A Bow sayang Bia, tapi menurut Bia itu karena A Bow enggak mau jailan A Bow kalah sama jailan temen-temennya Bia." ucapan itu masih terekam di otak saya, Bia mengucapkan itu saat ia masih kelas dua SD saat saya dan dia tengah berjalan pulang ke rumah. Saat itu ia keluar kelas dengan wajah cemberut karena tempat pensilnya sempat di sembunyikan oleh salah satu teman sekelasnya, saya yang masih bocah SMP memarahi anak itu di depan orang tuanya tanpa rasa takut. Dulu mungkin Bia berpikir saya marah karena saya tak terima ada yang lebih jail dari saya ke Bia, namun ia tak tau bahwa itu tanda sayang seorang Kakak meskipun saat itu saya bocah nakal.

Tak terasa perjalan jauhpun akhirnya berakhir, saya turun tepat di depan rumah Papah. Rumah nampak sepi, mungkin karena rumah yang terlalu besar dan hanya di huni dua orang, maksud saya tiga dengan saya sekarang.

Saya menggerek koper masuk ke depan pintu, mengetuk dan memencet bel rumah dengan cat putih ini. Tak lama suara knop pintu terbuka. Menampakan Papah dengan setelan rapihnya, kemeja biru langit dengan celana hitam juga rambut jambul yang di tata rapih. Dia tersenyum melihat kehadiran saya.

"Pah,"sapa saya kemudian menyalaminya.

Terdengar suara derap langkah cepat di belakang Papah, "A Bow..."teriak Bia yang berlari kearah saya.

Saya tersenyum melihatnya antusias bertemu saya, Biapun menghamburkan pelukan kepada saya, rasa lelah di perjalan seketika hilang. "Bia tau kok A Bow rindu Bia..."

Saya melepaskan pelukan dan menatapnya, sikap tengilnya makin nampak sekarang. Membuat saya refleks menoyornya sambil tertawa.

Dia memberi tatapan tajam, "Papah A Bownya nakal..."adunya membuat saya mendapat jeweran dari Papah.

Saya memegang telinga yang terasa panas akibat jeweran Papah"Oh udah bisa ngadu ya..."kata saya sambil menyipitkan mata menatap Bia.

Dia tertawa, Papah tertawa dan sayapun ikut tertawa, ya kami tertawa bersama.
"Yu masuk A,"ajak Papah.

Menjaga Jantung HatiWo Geschichten leben. Entdecke jetzt