19. Ucapan Maaf

224 23 0
                                    

Hari ini adalah jadwal saya untuk kembali berangkat ke Jakarta, bukan untuk pindah ke Tim Rival hanya untuk memenuhi panggilan dari PSSI untuk latihan bersama TIMNAS kembali. Yang membedakan kali ini ada laga resmi sesuai kalender FIFA, jika sebelumnya yang selalu saya jalankan bersama Timnas adalah laga uji coba kini sudah saatnya untuk laga sesungguhnya.

Namun sebelum berangkat ke Jakarta saya ingin terlebih dahulu bertemu Papah, sebenarnya ingin bertemu Bia namun nampaknya dia belum bisa memaafkan saya. Saya sempat menghubungi Papah untuk pertemuan kali ini lewat chatting, sejak obrolan saya dengan Om Wisnu kala itu saya tau saya salah meski lebih salah Papah, dan sejak saat itu Om Wisnu memberi saya kontak Papah meski baru kali ini saja saya gunakan.

Me
Ini Bow, bisa ketemu?

Papah
Papah lagi ada meeting sama Wisnu A, kamu ke sini aja. Cafe Telaga ya.

Melihat balasan itu saya bingung urusan apa yang sedang ia perbincangkan dengan Om Wisnu, bisa saja mereka menggosipi tentang saya yang kemarin kemarin sempat mengobrol dengan Om Wisnu masalah Papah. Ah kedua pria itu memang tak bisa ditebak.

Sayapun segera menuju Cafe yang tadi Papah tunjukan dengan memesan taksi online dan membawa koper agar nantinya saya bisa langsung pergi ke Jakarta. Rasanya berat meninggalkan rumah, entah kenapa setiap sudut rumah selalu punya cerita tentang saya dan Bia dari masa kami kecil hingga dewasa seperti saat ini. Menatap teras rumah hati saya selalu teriris, jika saat kecil kami menghabiskan canda tawa di sana namun ketika kini tempat itulah yg buat kami berjauhan seperti tak lagi saling membutuhkan.

Perasaan cemas selalu muncul tak kala bangun tak mendapati keberadaan adik tercinta di sekitar rumah, saya sudah mencoba terbiasa namun hal tersebut tidak bisa dibiasakan sebab kehadiran Bia adalah kebiasaan yang tak biasa.

Saya akhirnya sampai di Cafe yang tadi Papah katakan, Cafe nampak sepi sehingga saya masuk ke Cafe itu dengan nyaman tanpa banyaknya tatapan mata yang saya dapatkan.

Saya terus menelusuri Cafe hingga menemuka meja dari dua pria paruh baya itu. Pria yang sama sama memakai kemeja itu tersenyum melihat kehadiran saya,
"Anak bujangnya Ali mau kemana nih? Tidak bisa hidup sendiri tanpa kehadiran jantung hati?"tanya Om Wisnu seolah meledek saya yang baru saja menghampirinya.

Saya menyipitkan mata saya menatapnya, "Negara memanggil kali..."elak saya, namun pernyataannya juga benar bahwa saya tak bisa hidup tanpa Bia.

"Duduk Bow,"titah Papah.

Sayapun duduk disamping Papah, "Kalian lagi gosipin pemain muda hebat ya?"

Om Wisnu menautkan alisnya "Siapa?"tanyanya. Faktor umur sudah tak bisa berpikir keras, padahal jawabannya ada di depannya.

"Febri-lah."

Dua Pria paruh baya itu tertawa, Papah mengelus kepala saya.
"Duh Li, anak lo PDnya selangit...Hahaha"ujar Om Wisnu pada Papah.

Saya cemberut, "Faktanya begitu bukan sekedar PD, Om!"

Om Wisnu makin tertawa, "Haha...udah kalian Bapak anak ngobrol dulu berdua, ada panggilan alam."titah Om Wisnu sambil berlalu meninggalkan kami.

Setelah Om Wisnu pergi keadaan menjadi canggung lagi. Kami hanya saling diam tanpa tatap.

"Ada yang mau diomongi  A?"tanya Papah sambil melihat berkas yang sejak tadi ada di meja.

Saya memberanikan diri menatapnya, "Hm...Iya itu..."

"Apa masalah Bia? Dia udah mau makan cuman masih rada murung."

"Hm...syukurlah tapi itu..."saya masih belum bisa berkata apa yang mau saya ucapkan sebenarnya.

Papah menaikan alisnya, "Kenapa? Bilang aja."

Menjaga Jantung HatiDove le storie prendono vita. Scoprilo ora