10. Bersekat

199 26 0
                                    

Setelah pertengkaran itu hubungan saya dan Bia jadi bersekat. Setiap kali saya melihatnya entah kenapa amarah selalu muncul, lagi lagi dosa saya menyakiti dia bertambah. Setiap kali saya melamun rasa bersalah selalu menyerang, namun setiap kali melihatnya amarah saya kembali keluar. Saya sendiri bingung dengan diri saya, kenapa saya jadi segalak ini.

Untuk mengurangi amarah, saya juga terkadang saya pulang larut malam hanya untuk menghindari dari Bia, saya tak mau amarah saya muncul lagi. Dan Messlah tempat pelarian saya, terkadang saya berdiam di sana, hingga malam tiba saya baru beranjak pulang, dan pergi sangat pagi meski latihan sore. Para official Tim yang tinggal di messpun sempat merasa aneh, saya yang biasanya selalu pulang cepat ini malah sebaliknya, namun saya mampu beralibi dari mereka.

Puncaknya adalah pada saat saya pulang away, rasa lelah saya begitu bercampur karena perjalanan jauh, tim kalah, cacian netijen, di tambah masalah dengan Bia belum juga usai. Walau biasanya adik saya selalu memberi pelukan hangat di setiap rasa lelah kekalahan saya, namun kali ini tidak, saya tak mencari itu, saya tak mau pulang dalam keadaan lelah dan emosi saya tak terkendali lagi, saya takut malah adik saya semakin terluka, jadi saya memutuskan untuk menginap di Mess untuk pertama kalinya. Saya menitipkan barang bawaan away saya pada salah satu official yang akan pulang dan lewat ke arah rumah saya. Setidaknya adik saya tau saya sudah kembali.
"Mang, titipnya. Kalau adik saya tanya jawab baik-baik aja."kata saya sambil memberi tas saya kepada Official tim tersebut.

Official tim yang bertugas sebagai Kitman itu sudah duduk di atas motornya dengan helm yang sudah terpakai di kepalanya, "Tumben Feb mondok?"

Saya menangguk sambil memberi sedikit senyum, "Nya Mang, duh teu kuat cape."

"Hahaha, istirahat weh engke menta di urut," (Hahaha, istirahat aja nanti minta di urut)

"Gampanglah, kabarinya lamun aya nanaon."sahut saya sebelum ia benar-benar pergi.

Khawatir sebenarnya, namun lebih khawatir jika saya pulang dan malah marah-marah kepada Bia saat masalah belum juga terselesaikan. Saya dan Bia sama-sama punya sikap keras kepala, membuat setiap masalah tak mudah terselesaikan. Meski lelah dengan keadaan ini saya tetap pada pendirian saya bahwa sepak bola adalah hal yang berbahaya bagi perempuan lembut seperti Bia, dan saya tak mau apa yang terjadi pada Ibu nantinya terjadi juga pada Bia.

Lama saya menunggu kabar dari official tim yang tadi saya titipi tas, mungkin ia tak menghubungi saya karena aman-aman saja. Saya meletakan ponsel di nakas, kamar di mess di buat untuk dua orang, dan teman kamar saya adalah Zola namun ia pulang, sekarang menyisakan saya di kamar ini semakin sepi rasanya, semakin terpikir tentang jalan hidup rumit yang allah ciptakan untuk saya.

Lamunan saya hancur karena ponsel saya berdering, saya melihat nomor Mamang Kitman tadi yang menelepon saya. Ada apa lagi ini?

"Halo assalamualaikum, Mang."sahut saya saat telepon sudah tersambung.

"Tas sudah sampai dengan selamat, hehe."

"Ah Mang, sugan teh aya naon. Adik sayanya ada?"

"Ada tadi lagi di teras."jawab yang di sana membuat saya berpikir apakah ia menunggu saya hingga menunggu di teras? "Sama cowok lagi ngobrol,"lanjut pria di sambungan telepon sana.

Saya refleks memengang ujung kening saya, rasanya semakin pusing memikirkan kelakuan adik saya, siapa lagi pria itu. Tapi saya membuang pikiran negatif saya, mungkin saja itu Witan, tapi kalau itu Papah apa yang akan terjadi?

"Cowoknya gimana?"tanya saya, mencoba mengetahui ciri-ciri.

Yang di sana lama menjawab, "Hm...Seumuran sama adik kamu jigana, Feb." jawaban itu membuat saya tenang, "Jabrig-jabrig, putih gitu."

Menjaga Jantung HatiWhere stories live. Discover now